Cerdas Beragama
Cerita bermula dari
Luther yang pada suatu malam gelap, hujan lebat di luar. Gemuruh petir
menyambar. Dalam keadaan kuyup dan ketakutan, Luther bernazar, ia akan jadi
BIARAWAN jika TUHAN menyelamatkan hidupnya. Maka jadilah anak penambang ini
seorang Biarawan.
Suatu ketika,
setelah jadi biarawan, ia diutus mengantar surat ke Roma. Meski termasuk
pendeta baru, ia berpendidikan tinggi, seorang sarjana hukum, karena itu di
anatara sekian biarawan, Luther yang diutus ke Roma.
Masuk gerbang kota,
ia dikagetkan dengan kehadiran pelacur, pengemis, dan selusin orang-orang
miskin. Pendeta bebas menyalurkan hasrat dengan pelacur, serta santo-santo
digadaikan dalam jimat yang dijual bebas.
Ia menyaksikan
sendiri, di Roma ini, orang-orang harus mengeluarkan uang setiap kali berdoa.
Untuk dapat berdoa di depan tengkorak Yohanes, ia harus membayar terlebih dulu,
sudah begitu, tidak bisa berlama-lama dan berkhusuk-khusuk ria. Pendeta yang
menjaga akan segera menyeret keluar jemaah yang terlalu lama berdoa. Di
belakang, masih ada ratusan orang mengantri.
Lain waktu ia
mengikuti ritual penebusan dosa. Dengan membeli indulgensia, berdoa Bapa Kami
setiap anak tangga dari paling bawah sampai puncak, ia akan membebaskan orang
yang didoakannya, sang kakek Hendrik Luther dari apu penyucian menuju gerbang
surga. Satu perak untuk satu indulgensia. Kalau ditambah barang dua tiga perak,
ia mungkin bisa membebaskan keluarganya yang lain juga.
Sepulang dari Roma,
ia mulai merasakan ketidakberesan dalam Katolik Roma. Luther, oleh gurunya,
kemudian dikirm untuk menuntaskan keinginantahuannya yang dalam akan kasih
Tuhan yang sebenarnya untuk belajar teologi di Wittenberg.
Sama halnya seperti
di Roma. Di sini pun, Luther masih menemukan kenyataan yang berlawanan dengan
akal sehat serta hati nuraninya. Setiap pendeta baru datang, berarti beban bagi
warga Wittenberg. Membayar sedekah untuk menanggung hidup si pendeta. Sementara
mereka sendiri harus melarat.
Ia melihat bagaimaan
Pendeta berkhotbah di hadapan kerumunan rakyat miskin bin melarat, para tukang,
kuli, pelacur, peminta-minta, seperti layaknya sales mengobral indulgensia.
Dengan memberikan efek dramatis, seperti visualisasi neraka. Mereka yang berdosa,
akan dibakar dalam bara api.
Dibayangi ketakutan
seperti itu, jemaah berbondong-bondong membeli indulgensia. Tidak tega rasanya
membayangkan sanak keluarga mereka kelak dilahap api neraka. Indulgensia, seolah rakit yang
akan melarung mereka menuju keselamatan tuhan. Surga.
Luther jelas marah.
Tuhan Maha Pengasih, baginya. Dialah yang karena cinta kepada umatnya, rela
memikul salib. Tapi tuhan, telah dihadapkan kepada umatnya sangat menakutkan,
menyiksa, menyeramkan, dan pamrih.
Indulgensia, hanya
selembar kertas yang bisa dikeluarkan oleh setiap Uskup. Tapi lembar kertas
ini, bisa ditukar dengan kepingan uang yang konon dapat menyelamatkan manusia
dari api neraka. Luther menyangkalnya.
Ia lantas menulis
surat yang berbunyi;
Kepada Albert di Mainz.
Bapa dalam Kristus dan pangeran yang termasyhur.
Maafkan atas kelancanganku menulis surat padamu. Aku
memberanikan diri sebab itu tugasku untuk melayanimu dan memperingatimu akan
praktik tidak benar dari mereka yang mengaku meakili Anda. Kristus tidak
memerintahkan penyebaran indulgensia. Tapi penyebaran injil.
Orang Kristen harus diajarkan kalau orang memberi
pada yang miskin, atau meminjamkan pada yang membutuhkan, melakukan hal yang
lebih baik daripada yang membeli indulgensia. Kalau Paus bisa mengosongkan api
penyucian, mengapa dia tidak melakukannya demi kasih namun demi uang?
Surat itu kemudian
sampai ke Roma, kedua murid Luther di sekolah teologia mencetaknya makin banyak
dan menyebarluaskannya ke semua warga. Dan tebak, bagaimana reaksi masyarakat
kelas bawah dan para penguasa negara dan pemuka gereja.
Hidup Luther mulai
berbuah ketika ia memutuskan untuk mengikuti hati nurani dan melawan
ketidakadilan. Ia mulai terseret dalam kelindan penguasa dan gereja. Antara
Jerman dan Roma. Ia mengahadapi berbagai kemelut dalam hidupnya. Ia berjuang
keras untuk itu. Satu prestasi terbesarnya adalah menerjemahkan Injil dari
bahasa Yunani ke bahasa Jerman. Sejak itu pula, gereja Jerman memisahkan diri
dari Roma. Ini yang kemudian kita kenal sebagai peristiwa reformasi gereja.
Gereja, pada masa
itu, begitu hegemonik. Bagaimana tidak, sumber pengetahuan agama adalah Injil,
tapi injil ini berbahasa Yunani sementara berjuta umatnya bukan orang Yunani
saja. Jadi, siapa yang punya sumber otoritas penyebaran Injil selain mereka
yang bisa berbahasa Yunani dan belajar Theologia. Orang miskin hanya punya
sedikit kemungkinan. Untuk bisa sekolah, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.
Baik penguasa negara
maupun gereja, dalam hal ini, melestarikan hegemoni mereka atas khalayaknya
dengan tetap membiarkan mereka bodoh, menjauhkan mereka dari pengetahuan. Agama
juga mereka gunakan sebagai sarana. Lewat agama, mereka mengeruk kekayaan untuk
penguasa. Ambil contoh indulgensia tadi. Lewat agama, orang diajarkan untuk
patuh seutuhnya pada penguasa, meski selalim apa pun orangnya. Agama
mengajarkan orang untuk bersabar atas segala keterpurukan, kebodohan,
kemiskinan yang mereka alami. Seolah seperti itulah mereka maksud penciptaan
mereka, bukan karena penguasa yang tidak becus mengurus rakyatnya.
Agama bagai candu
bagi masyarakat ini (mengutip eyang Marx). Candu yang membuat mereka lupa akan
segala bentuk kemiskinan dan derita, sebab satu pengetahuan telah mengelabui
mereka; surga dijanjikan bagi mereka yang bersabar dan taat. Jadi, semakin
seseorang beragama tanpa kecurigaan, maka semakin ia tak berdaya untuk melawan.