Kuliah, semakin ke
sini, semakin banyak formalitas-formalitasnya. Awal bulan lalu, saya mengikuti
ujian komprehensif, kompre. Yang diujikan semua mata kuliah yang sudah diikuti
sejak semeter awal. Ujian dibagi dua, ujian keagamaan untuk semua mata kuliah
agama, dan ujian kesusastraan.
Jauh sebelum ujian
dimulai, saya sudah bisa menebak-nebak nilai yang akan saya dapat. Saya bukan
peramal loh, hanya saja saya sering baca nilai pengumuman ujian kompre dan
ujian skripsi di fakultas. Nilai kisaran A, B+ dan B. Jarang ada yang dapat
C-E.
Sederhana saja
analisis saya. Kalau kamu menilai dirimu kamu cukup pintar, kamu berhak dapat
nilai A. Apalagi kalau dosen penguji juga mengenal kamu dengan baik, dalam
artian dia tahu seberapa kapabilitas kamu selama perkuliahan.
Sampai tiba hari-H ujian, saya tidak mempersiapkan diri sama sekali. Saking
banyak mata kuliah yang akan diujikan, saya malah bingung mau belajar yang mana
dulu dan mulai dari mana.
Pasrah deh pokoknya…
sedari awal, saya yakin banget gak bakal dapat nilai C. Jadi, mau belajar atau
tidak, bisa jawab dengan baik atau tidak, sepertinya juga gak ngaruh. Karena
menurut saya cuma formalitas, gak papa lah yah sedikit mengentengkan.
Anggapan saya
semakin diperkuat saat ujian kesusastraan tiba. Kebetulan, dari lima peserta
ujian, 3 orang mahasiswa kebahasaan, sementara yang kesusastraan ada saya dan 1
orang lagi. Kami berlima dijadwalkan untuk ujian di ruang dan penguji yang
sama. Kedua pengujinya dosen kebahasaan. Materi yang diujikan, semuanya tentang
bahasa. Mulai dari phonology, morphology, syntax, yang dulu pernah saya
pelajari dalam mata kuliah dasar. Lalu ada lagi beberapa mata kuliah yang asing
bagi saya, semacam psycholinguistic, discourse analysis, pragmatic, dan
lain-lain.
Saya hanya melongo
melihat soal ujian yang dibagikan Mr. Right . Gampang sih sebenarnya; 1)berikan
penjelasan singkat dari istilah-istilah di bawah ini. 2) jelaskan satu teori
kebahasaan yang sudah kamu pelajari, siapa tokohnya, dan bagai mana teorinya.
Buat anak bahasa
yang kayak begini sambil merem juga bisa, lah yang sastra kaya saya ini? Cuma
bisa nebak-nebak aja. Udah kaya lelakon OVJ lagi belajar bahassa inggris.
Psycholinguistic, psyicho itu psikologi, linguistik itu bahasa.
Waktu teman-teman
protes malah dijawab; kalo kamu maunya soal susastra, ya, ke Bu M saja. Susul
orangnya di Australi sana.
Diengggg.
Ih, segitunya, pak.
Si Wafiq malah (me)ngakak-ngakak(i) nasib saya, " belum-belum, udah didiskriminasi begini,"
katanya. Untungnya beliau berbaik hati, soal kedua, buat anak sastra
dipersilakan menejelaskan teori sastra.
Saya maklum,
dosen-dosen sastra, musim perkuliahan ini, banyak yang sedang tidak bisa
mengajar lantaran sedang meneruskan kuliah. Tapi kan tidak semuanya. Masih ada
beberapa dosen, meskipun dosen muda yang bisa diperbantukan sebagai penguji.
Atau, paling gak, dari jurusan menyediakan soal khusus, dan tidak diserahkan
semua ke penguji. Benar-benar menegaskan posisi kompre sebagai agenda
formalitas.
Nila A dan B+ yang
tertera dalam surat tanda lulus ujian kompre tidak punya makna apa-apa, bagi saya, kecuali sebagai prasyarat ujian skripsi.
Haish, pengen cepat-cepat lulus!
dan terbebas dari belenggu formalitas akademik...