Saturday, 30 March 2013

rasakanlah...




Kebahagian, tiap kali kau mengingatku
Suka cita, saat kau memikirkanku

Rasakanlah…

luapan cinta, ketika kau merindukanku


___________________

pict from walcoo.com

Saturday, 23 March 2013

foto ijazah "berjilbab"


Saya dan Winda, pada suatu siang, sedang sibuk menempelkan foto di atas lembar formulir pendaftaran skripsi. Sehari sebelumnya, kami berdua heboh narsis-narsisan di sekretariat si Ino. Kami berdua terlalu malu dan sangat tidak pede kalau harus ke studio foto, lalu merelakan diri didempul sana sini, pakai kebaya, hanya untuk ditempel di lembaran bernama ijazah.
Di sebelah kami mahasiswa lain juga sibuk mengisi berkas pendaftaran. Berkali-kali ia melirik foto kami. Kepada temannya ia bilang “Fotomu pake kerudung, gak? Aku gak loh. Males beli materai 6 ribu.”
Demi mendengar itu, saya tidak tahan untuk nyahut, “6 ribu doang juga.”
Aturan di kampus, untuk foto ijazah, mahasiswi harus berbusana nasional/kartinian. Bagi yang berkerudung, wajib melampirkan surat pernyataan bermaterai yang isinya “klaim” bertanggung jawab penuh atas segala kemungkinan buruk karena foto berkerudung pada ijazah.
Saya tidak tahu, bagian administrasi kampus saya dapat ide dari mana untuk bikin peraturan macam ini. Selama SMP-SMA, ijazah saya berkerudung, dan tidak harus menyertakan surat pernyataan segala.
Sering saya dengar sekolah melarang siswanya berkerudung saat foto ijazah. Dan setahu saya, kepala sekolah yang melarang, justru akan ditegur diknas. Bukankah tiap orang berhak melaksanakan perintah agamanya, termasuk berkerudung meski cuma di ijazah.  
Saya coba melacak ke belakang. Kepingan-kepingan prejudis terhadap perempuan berjilbab menyerbu, berdenging, menuding-nunding tepat depan hidung. 
           “gak punya kuping yah? Kok ditutupin.” 
          “cacat”
          “susah cari kerjaan loh...”
          “dapat jodoh susah...”
          Dan apalagi?
Mungkin ini yang melatarbelakangi adanya aturan foto berjilbab. Ketakutan dan kehawatiran berlebihan, serta prasangka yang sama sekali tidak berdasar. Dulu, instansi pemerintahan bahkan pernah mengeluarkan peraturan mengenai seragam sekolah, siswa tidak boleh berkerudung. Tapi itu dulu sekali. Entah sudah dihapus apa belum.
Kalau di zaman yang menjunjung kebebasan seperti sekarang ini, saya rasa sudah tidak berlaku lagi. Muslimah Indonesia dibebaskan untuk berjilbab. Lapangan kerja juga dibuka luas untuk siapa saja, termasuk yang berjilbab. Bagi perusahaan atau instansi yang tidak memperbolehkan atau melakukan diskriminasi terhadap perempuan berjilbab justru kena sanksi.
Jadi kenapa universitas masih mempertahankan peraturan seperti ini?  
Universitas saya termasuk PTAIN terkemuka, setiap mahasiswinya diwajibkan berjilbab. Setahun pertama digembleng di pondok dengan materi keislaman serta diwajibkan berpakaian laiknya muslimah yang solehah. Akhirnya malah paradoks, karena tidak bisa menjamin mahasiswanya untuk tetap berjilbab di foto ijazah. Universitas gagal menjamin kepada khalayak di luar universitas, bahwa berjilbab bukan berarti tidak normal dan tidak berprestasi. 
Bagi saya, ini bukan masalah materai Rp6000, apalagi cuma selembar foto. Ini masalah prinsip, ketika kamu memilih berkerudung. Soal foto ijazah ini, hanya ujian kecil saja...   




__________________________
akhirnya ujian (sidang) skripsi saya selesai sudah, tinggal menunggu hasil ^.^
*pict from here



Sunday, 17 March 2013

formalitas akademik


Kuliah, semakin ke sini, semakin banyak formalitas-formalitasnya. Awal bulan lalu, saya mengikuti ujian komprehensif, kompre. Yang diujikan semua mata kuliah yang sudah diikuti sejak semeter awal. Ujian dibagi dua, ujian keagamaan untuk semua mata kuliah agama, dan ujian kesusastraan.

Jauh sebelum ujian dimulai, saya sudah bisa menebak-nebak nilai yang akan saya dapat. Saya bukan peramal loh, hanya saja saya sering baca nilai pengumuman ujian kompre dan ujian skripsi di fakultas. Nilai kisaran A, B+ dan B. Jarang ada yang dapat C-E.

Sederhana saja analisis saya. Kalau kamu menilai dirimu kamu cukup pintar, kamu berhak dapat nilai A. Apalagi kalau dosen penguji juga mengenal kamu dengan baik, dalam artian dia tahu seberapa kapabilitas kamu selama perkuliahan.

Sampai tiba hari-H ujian, saya tidak mempersiapkan diri sama sekali. Saking banyak mata kuliah yang akan diujikan, saya malah bingung mau belajar yang mana dulu dan mulai dari mana.

Pasrah deh pokoknya… sedari awal, saya yakin banget gak bakal dapat nilai C. Jadi, mau belajar atau tidak, bisa jawab dengan baik atau tidak, sepertinya juga gak ngaruh. Karena menurut saya cuma formalitas, gak papa lah yah sedikit mengentengkan.

Anggapan saya semakin diperkuat saat ujian kesusastraan tiba. Kebetulan, dari lima peserta ujian, 3 orang mahasiswa kebahasaan, sementara yang kesusastraan ada saya dan 1 orang lagi. Kami berlima dijadwalkan untuk ujian di ruang dan penguji yang sama. Kedua pengujinya dosen kebahasaan. Materi yang diujikan, semuanya tentang bahasa. Mulai dari phonology, morphology, syntax, yang dulu pernah saya pelajari dalam mata kuliah dasar. Lalu ada lagi beberapa mata kuliah yang asing bagi saya, semacam psycholinguistic, discourse analysis, pragmatic, dan lain-lain.

Saya hanya melongo melihat soal ujian yang dibagikan Mr. Right . Gampang sih sebenarnya; 1)berikan penjelasan singkat dari istilah-istilah di bawah ini. 2) jelaskan satu teori kebahasaan yang sudah kamu pelajari, siapa tokohnya, dan bagai mana teorinya.

Buat anak bahasa yang kayak begini sambil merem juga bisa, lah yang sastra kaya saya ini? Cuma bisa nebak-nebak aja. Udah kaya lelakon OVJ lagi belajar bahassa inggris. Psycholinguistic, psyicho itu psikologi, linguistik itu bahasa.

Waktu teman-teman protes malah dijawab; kalo kamu maunya soal susastra, ya, ke Bu M saja. Susul orangnya di Australi sana.

Diengggg.

Ih, segitunya, pak. Si Wafiq malah (me)ngakak-ngakak(i) nasib saya, " belum-belum, udah didiskriminasi begini," katanya. Untungnya beliau berbaik hati, soal kedua, buat anak sastra dipersilakan menejelaskan teori sastra. 

Saya maklum, dosen-dosen sastra, musim perkuliahan ini, banyak yang sedang tidak bisa mengajar lantaran sedang meneruskan kuliah. Tapi kan tidak semuanya. Masih ada beberapa dosen, meskipun dosen muda yang bisa diperbantukan sebagai penguji. Atau, paling gak, dari jurusan menyediakan soal khusus, dan tidak diserahkan semua ke penguji. Benar-benar menegaskan posisi kompre sebagai agenda formalitas.

Nila A dan B+ yang tertera dalam surat tanda lulus ujian kompre tidak punya makna apa-apa, bagi saya, kecuali sebagai prasyarat ujian skripsi.

Haish, pengen cepat-cepat lulus! 
dan terbebas dari belenggu formalitas akademik...





Saturday, 9 March 2013

catatan, wiji thukul


Apa yang kamu pikirikan sesaat setelah membaca sebuah puisi? Mungkin di antara kita ada yang dibikin bingung; ini puisi maksudnya apa sih,, gelap banget. Mungkin juga ada yang senyum-senyum mencerna romantis di dalamnya, atau berdecak kagum akan keindahan rangkaian kata-katanya. Ada juga yang habis baca puisi, semangatnya makin membara.

Dari semua yang pernah saya baca, ada satu yang bikin saya terenyuh, sampai menangis. Meski berkali-kali dibaca, selalu menyisakan sendu. Catatan, sebuah puisi dari Wiji Thukul. Mungkin gara-gara sebelumnya membaca tulisan Menunggu Bima Pulang, yang pernah dipublikasikan di Majalah Inovasi, dan juga riwayat singkat Wiji Thukul yang ditulis Linda Christanti.

Catatan, ia seolah mewakili suara mereka -yang diambil paksa dari rumah dan tak pernah kembali….

Catatan
Wiji Thukul


Gerimis menderas tengah malam ini
Dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
Dalam sunyi hati menggigit lagi
Ingat
Saat pergi
Cuma pelukan
Dan pipi kiri kananmu
Kucium
Tak sempat mencium anak-anak
Khawatir
Membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
Bertanya apa mereka saat terjaga
Aku tak asa (seminggu sesudah itu
Sebulan sesudah itu
Dan ternyata lebih panjang dari yang kalian harapkan!)
Dada mengepal perasaan
Waktu itu
Cuma berbisik beberapa patah kata
Di depan pintu
Kau lepas aku
Meski matamu tak terima
Karena waktu sempit
Aku harus gesit
Genap 1/2 tahun aku pergi
Aku masih bisa merasakan
Bergegasnya pukulan jantung
Dan langkahku
Karena penguasa fasis
Yang gelap mata
Aku pasti pulang
Mungkin tengah malam ini
Mungkin subuh hari
Pasti
Dan mungkin
Tapi jangan
Kau tunggu
Aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
Karena hak telah dikoyak-koyak
Tidak di kampus
Tidak di pabrik
Tidak di pengadilan
Bahkan rumah pun
Mereka masuki
Muka kita sudah diinjak!
Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
Dan aku jarang pulang
Katakan
Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
Tapi dipaksa menjadi penjahat
Oleh penguasa
Yang sewenang-wenang
Kalau mereka bertanya
"Apa yang dicari?"
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok haknya
yang dirampas dan dicuri



"dia pergi untuk merampok haknya, yang dirampas dan dicuri." Kata-kata ini sangat berkesan bagi saya. Hak kita, ia tidak jatuh ke pangkuat kita begitu saja. Untuk mendapat hak kita, ia bahkan harus direbut paksa, dirampok…. Wiji Thukul, menyadari benar itu. 

Friday, 1 March 2013

merebut takdir




Takdir, ia telah digoreskan. Tapi kita berhak memilihnya, atau tidak. 
Persiapkanlah dirimu untuk menerima kesatuan rasa-rasanya.

Seperti menyantap sepiring rujak. 
Ada kecut mangga, pedas cabai, manis pepaya, renyah kacang, khas asam, dan macam.

Bahagia takkan menghampiri kita sebagai entitas asing. 
Ia galaksi rasa-rasa dalam sepiring rujak.

Rebutlah bahagiamu;
Menulis duka yang tak habis
Mencerita nelangsa pada malam-malam
Mengurai tangis di atas pusara-pusara
: sebab mencecap bahagia adalah membedakannya dengan kecewa

Jangan bilang takut atau trauma untuk perih. 
Sesungguhnya ia mengajari kita menikmati suka cita. 



from wallcoo.com





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...