Ujung jalan, di emper toko Cik Mei. Dari belokan gang, Saya selalu melihat dia duduk bertumpu di atas kaki, kedua tangan bersilangan memeluk lutut erat-erat. Membunuh angin malam. Entah kenapa langkah kaki menuntun saya ke emper toko Cik Mei. Dia gegas berdiri saat saya hampiri, badannya sedikit oleng mau jatuh. “kacang, nduk?” senyumnya memperlihatkan deretan gigi, tidak utuh. “Gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Matanya mengerjap-ngerjap memantulkan spektrum orange dari lampu minyak. Caranya menyambut saya seperti berlebihan. Jangan-jangan saya pelanggan pertama hari ini.
Emper toko Cik Mei tempatku mangkal, dekat ujung jalan. Aku sedang duduk sambil memeluk lutut dengan erat, terlihat dia muncul dari belokan gang itu lagi. Kupererat pelukan, mencoba membunuh angin malam. Biasanya dia hanya lewat, kali ini dia berjalan ke arah toko. Aku tergesa-gesa berdiri saat dia datang, badanku sedikit oleng. Otot-otot pipi dan bibirku ku tertarik menampilkan deretan gigi yang sudah tanggal. “kacang, nduk?” mata tuaku mengerjap-ngerjap menangkap bayangannya lewat sinar lampu minyak. “gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Mungkin caraku menyambutnya sedikit berlebihan. Dia pelanggan pertama hari ini.
Di ujung jalan memang banyak yang berjualan, kalau di emper toko Cik Mei, ada yang jualan kacang, ujarnya. Dari kejauhan, belokan gang, dia sedang duduk memeluk lutut erat-erta. Membunuh angin malam. Mungkin angin juga yang menuntunnya ke arah toko Cik Mei. “dia bergegas berdiri, sampai oleng mau jatuh” dia menceritakan adegan saat penjual itu dihampiri. Penjual itu menanyainya apa dia akan membeli kacang. “gulo kacang, pak, setunggal mawon.” Katanya dia menjawab seperti itu. Mata penjual itu mengerja-ngerjap ditimpa cahaya orange. Menurutku terlalu berlebihan cara pennjual itu menyambutnya. Mungkin dia pelanggan pertama.
No comments:
Post a Comment
silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.
komentar akan muncul setelah disetujui.