Cetakan
I : Desember 2005
Tebal :
248 halaman
Menghabiskan
10 bab dalam novel ini, pembaca diajak untuk menyelami kehidupan seorang
perempuan yang berambisi besar menjadi politisi sukses. Suad, tokah utama dalam
cerita ini, mulai berkenalan dengan dunia politik saat masih duduk di bangku
SMA. Pada tahun 1935, ketika banyak gerakan nasionalis Mesir berunjuk rasa
memerdekakan diri dari Inggris, ia mengkoordinir teman-teman sekolahnya untuk
turut terlibat. Pertemuannya dengan salah seorang sepupu, mahasiswa dan
pentolan gerakan nasioalisme Mesir, mengawalinya berkenal dengan politik lebih
matang.
Diceritakan,
sejak kecil Suad adalah anak yang tomboy, berbeda dengan kakak perempuannya
yang sejak kecil telah menyiapkan dirinya menjadi wanita tulen. Saat Suad
menikmati permainan dengan teman-teman lelakinya, kakaknya asyik berlatih
memasak, menjahit, mendekorasi rumah. Bahkan, tatkala beranjak dewasa, banyak
teman lelaki datang menawarkan cinta padanya. Tapi tak satu pun
diterimanya, ia memilikki konsep tersendiri mengenai cinta dan perkawinan.
“Mereka
datang, tetapi aku selalu menolaknya karena dengan menerimanya aku masih
menjadi manusia biasa. Aku menolak mereka juga mungkin karena mereka, laki-laki
yang datang tidak ada yang mampu membawaku menjadi manusia luar biasa.”
Begitulah
Suad, cerdas dan berambisi. Keaktifannya dalam politik diimbangi dengan
prestasi yang memuaskan disekolah, pun ketika menjadi mahasiswa. Menjadi
orator, menghadiri pertemuan-pertemuan politik, sebagai pelajar ia selalu duduk
di peringkat pertama. Ketika akhirnya Suad jatuh cinta pada pria bernama Abdul
Hamid, dari sinilah bermunculan peperangan antara ego poltisi dan ego
perempuannya. Kiprahnya dalam berbagai organisasi politik maupun pergerakan
perempuan menghanyutkanya dalam linkar elit politik. Berbanding terbalik dengan
kehidupan pribadinya. Semakin dekat dunia politik dengannya, semakin ia jauh
dari suaminya, perceraian pun tak terelakkan. Faizah anak semata wayangnya,
memanggilnya dengan Suad. Padahal dalam hatinya ia begitu merindukan sebutan
ibu untuk dirinya.
@@@ @@@ @@@
|
baru
|
Sejak
dahulu wanita diidentikkan sebagai makhluk lemah. Meski pada kenyataanya,
banyak wanita lebih cerdas dan kuat ketimbang laki-laki di luar sana.
Sejatinya, wanita dan laki-laki terlahir berbeda, namun itu bukan alasan tepat
untuk menciptakan pembedaan yang merugikan spesies tertentu. Toh yang berbeda hanya anatomi biologis
saja. Ada sejuta Suad yang menyuarakan keadilan dan kemerdekaan untuk
bangsangnya, juga untuk kaumnya. Kiprahnya sudah pasti diakui, namun belum
tentu kenyataan bahwa ia seorang wanita diakui.
“Karena
apa? Karena aku hamil? Begitu?”
Betapa
kesalnya Suad saat para dosen dan mahasiswanya akan mengadakan pertemuan
penting dengan perdana menteri terkait revolusi di negaranya, tapi ia tidak
diajak. Padahal selama ini, Suadlah masterminder mereka.
Dan alasan yang mereka kemukakan klise, mereka malu pertemuan dengan perdana
menteri dihadiri wanita hamil.
Dalam
kehidupan pernikahan, Suad pernah dua kali jatuh bangun. Hubungan wanita dan
pria adalah hubungan kemitraan complementer,
hubungan yang saling melengkapi. Bukannya hubungan antara majikan dan pelayan,
dalam hal ini, acap kali wanita yang berperan sebagai pelayan. Mulai dari
melayani suami, anak, hingga mengurusi segala tetek bengek keluarga. Hidup
dengan laki-laki yang besar dalam budaya patriarki seperti Abdul Hamid dan
Doktor Kamal, sulit baginya untuk mewujudkan konsep ini. Apalagi dengan kondisi
sosial yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki. Bagi mereka, dalam
institusi pernikahan suami harus lebih dominan dari isteri. Alih-alih membangun
keluarga yang harmonis, pernikahan malah menjadi tameng baginya. Jika ia bisa
sukses dalam berkarir, ia juga ingin menunjukkan pada publik bahwa segudang
aktivitasnya tidak menghabat keharmonisan keluarganya.
Meskipun
begitu, upaya yang dilakukan Suad untuk membebaskan diri dari kekangan
budayalah yang harus dicermati. Tatkala banyak wanita merasa nyaman menjadi
“jenis kelamin kedua”, Suad tengah bergembira merayakan kebebasannya dari
superioritas laki-laki.
Ihsan
Abdul Qudus, penulis novel ini, amat piawai menuturkan kisah pergolakan
kehidupan Suad. Ia dengan lugas menceritakan seorang perempuan yang
memperjuangkan kesetaraan jender. Bagaimana Suad menghadapi keluarganya, saat
dimana Suad berusaha menjaga eksistensi karir politiknya tanpa merusak hubungan
dengan suaminya, utamanya kala Suad menyerukan pada rekan-rekannya, bahwa ia
adalah wanita, dan itu bukan penghalang baginya untuk memantapkan langkah di
dunia politik.
Lalu
Ihsan menghadirkan pergolakan batin Suad sebagai pembanding. Ia mengisahkan
bahwa bagaimanapun, Suad tetap membutuhkan kehadiran lelaki dalam hidupnya.
Meski pada akhirnya ia selalu menuai perceraian. Kemudian Ia bertutur tentang
Suad yang begitu terpukul mengetahui anaknya lebih dekat dengan ibu tirinya,
Samirah. Faizah lebih dekat dan terbuka dengan Samirah, daripada dengan
dirinya, ibu kandungnAya.
Aku Lupa bahwa Aku Perempuan, adalah
judul yang diberikan untuk novel terjemahan Bahasa Arab ini. Sayang sekali
Syahid Widi Nugroho, penterjemah, tidak menyertakan judul aslinnya. Dengan
judul novel seperti itu, jelas pembaca akan salah menginterpretasi isi novel
ini. Penulis novel hanya bermaksud menguraikan ambisi seorang wanita
memperjuangkan haknya, dibumbui kehidupan yang berbenturan dengan budaya.
Budaya yang menggambarkan seolah-olah ia menjadi wanita yang gagal. Penulisnya,
sama sekali tidak menghakimi suatu apapun.
underline__________
ini
buku sudah lama banget belinya, jaman masih sma. kalo resensinya dibuat waktu
awal-awal kuliah. jadi maklum ajah kalo bahasanya geje gitu :p... oya, ini
sudah pernah saya posting di multiply, tapi saya sudah tidak pernah buka
multiply lAgi. mungkin sekarang sudah tutup. saya jadi tertarik posting ini
lagi, gara-gara Pipit, teman saya, bilang kalo dia sedang ingin baca novel ini.
ini barang pertama yang akan dia beli kalo gaji perdananya sudah keluar :D (jok
lali traktir aku yo, mak ^.^)