Subhanallah, betapa
waktu ternyata berjalan sangat cepat. Sepertinya baru beberapa malam kemaren
harap-harap cemas (H2C) menunggu sidang isbat; kapan awal Ramadan. Lah kuk
sekarang sudah masuk sepuluh terakhir Ramadan. Mungkin sebentar lagi masyarakat
indonesia akan dibuat H2C menunggu isbat awal syawal.
Malam ini pikiran
saya mengembara melewati kira-kira sepuluh tahun Ramadan belakang. Sejak saya
mulai bersekolah SMP. Saya merasakan masa-masa melawan mitos Ramadan. Menurut
saya ada beberapa mitos seputar Ramadan, dan kadang diimani dan diamini.
Jatuh-jatuhnya Ramadan malah dikapitalisasi, jadi semacam komoditas. Meskipun tak bisa dibohongi, Ramadan juga memberi
berkah bagi sebagian orang dalam mencari nafkah.
Menahan lapar, menahan nafsu
Seingat saya, saya
mulai belajar berpuasa saat masih duduk di bangku TK O kecil --sekarang TK A
kali yah. Tidak puasa penuh. Cuma puasa bedug; kata mama kalau jarum jam sudah
jatuh di angka 12 belas, saya baru boleh buka.
Usai mandi pagi,
saya berdiri mematung di bawah jam yang menggantung di dinding. Menatap
jarum-jarum berdetik. Ada tiga buah jarum; yang paling panjang, warna merah dan
geraknya cepat sekali. Yang ukuran sedang dan lebih pendek berwarna hitam. Mata
saya hanya tertuju pada yang berwaarna merah, sudah hampir menunjuk angka 12!!
Jadi saya berteriak-teriak pada mama saya yang sedang di dapur. "Ma, udah
mau jam 12," "Ma, jam 12 udah lewat!" dan "Ma, udah mau 12
lagi!" saya bertanya apa saya boleh makan? Dan mama saya hanya tertawa. Masa dalam sehari tiga kali jam 12? Bertahun-tahun
kemudian, saya baru sadar; omigod! Itu kan jarum penunju detik.
Berpuasa saat masih
TK dan SD, mungkin hanya sekadar ikut-ikut. Karena orang-orang semua berpuasa,
atau karena disuruh guru agama di sekolah. Belajar menahan lapar. Namun, saya
mulai belajar memaknai puasa lebih dari sekadar itu. Puasa bukan lagi sekadar
menahan lapar, tapi belajar memaknai menahan lapar. Kalau kata BIMBO; lapar mengajarmu rendah hati selalu. Belajar
menahan nafsu, berusaha melawan diri sendiri.
Menu berbuka, atau
sering disebut takjil. Iklan-iklan baik di televisi maupun media lain
berlomba-lomba menarik konsumen lewat konten atau materi iklan yang mempersuasi
masyarakat untuk menggunakan produk mereka saat berbuka. Belum lagi pasar-pasar
dadakan menjelang buka.
Alhasil, waktu
berbuka kadang jadi ajang balas dendam memenuhi hasrat perut juga hasrat
konsumtif. Makanan apa ajah dibeli, disiapkan, padahal belum tentu kuat
dihabisin dan malah dibuang. Mubadzir toh…
sibuk nyiapin kue berbuka dan lebaran |
Baju baru, Alhamdulillah...
Selain makan,
pakaian juga cobaan sendiri. Entah kenapa selama Ramadan, orang mendadak jadi
sangat islami bin arabi. Ramadan memiliki tren fashion tersendiri; baju kokoh,
kaftan, jubah, jilbab, atau pakaian lebih tertutup. Syahrini meluncurkan produk
abaya renda. Kaftan-kaftan dan jubah laris diburu pembeli di pasar.
Hijaber-hijaber lebih sering diundang untuk demo cara memakai jilbab ala
hijaber di televisi.
Mal juga tak mau
kalah, diskon spesial Ramadan digelar. Midnight
sale spesial lebaran juga ada. Dan saya harus menahan diri sekuat
mungkin buat baju baru. Untuk itu saya sangat berterima kasih kepada lagu, baju baru alhamdulillah, tak punya pun tak apa-apa.
Masih ada baju yang lama. Lagu anak-anak ini sangat membekas hingga
sekarang.
Ya,
Kenapa harus baju
baru? Mumpung lagi murah.( Ah, korban iklan)
Kenapa harus baju
baru? Ini kan buat ibadah, ketemu bos aja pake
baju bagus, ketemu Tuhan, baju baru dong. (emang Tuhan bisa dilobi cuma
dari baju baru?)
Kenapa harus baju
baru? Buat dipakai pas silaturahim dan halal bi halal. Masa
pakai baju tahun kemaren. (mau pamer niyeh...)
Biasanya setiap
lebaran ada bonus THR dari mama buat belanja baju lebaran, tapi uangnya lebih
sering saya tabung atau membelikan barang lain yang sedang saya butuhkan
dibanding beli baju. Lain cerita kalau, meski saya tidak minta, mama sudah
membelikannya. Mungkin mama tahu
saya pengen banget, tapi gengsi mau minta. Baju-baju pemberian mama
biasanya tipe-tipe yang menurut saya terlalu cantik dan anggun untu saya. Saya
malah tidak pede kalau dipakai selain lebaran. Mau dipakai kuliah, kuk cantik
sekali kayak mau ke kondangan orang nikah. Mau dipakai ke acara kawinan, lah
kuk saingan sama si pengantin ^.^. Ya sudah, bajunya disimpan lagi buat lebaran
tahun depan dan depannya lagi.
Oya. Lebaran tahun
kali ini bakal jadi rekor sendiri buat saya.
You know what, mukena punya saya saat ini umurnya sudah hampir empat
tahun :). Saya beli waktu masih semester satu. Dan satu-satunya yang saya
punya. Selama ini saya benar-benar menahan diri untuk tidak membeli mukena baru
selama yang satu ini masih bagus dan enak dipakai.
baju lama asal bersih dan rapi oke juga dipakai saat lebaran ^o^ |
Mudik; feels like home everywhere
Makanan, Baju dan
mitos ketiga menurut saya mudik. Mudik, betapa hebatnya kata ini buat orang
rantau macam saya. Sampai sekarang saya masih berpikir, lebaran lebih khidmat
dan nikmat jika dirayakan bersama keluarga di rumah.
Kala-kala, jika
sedang sendirian di kos, saya membayangkan sahur, buka puasa, dan lebaran
bersama bapa, mama, dan adik di rumah sana. Tual-Maluku.
Namun semuanya buyar
kalau sudah berkumpul dengan saudara dan teman saya yang di Malang atau di
Banyumas. Kebahagiaan datang dan kerinduan kepada orangtua menguap begitu saja.
Saya menyadari satu hal; saya akan mudik setiap lebaran, pulang ke rumah. Dan rumah
itu adalah tempat di mana kamu merasa diterima dengan sukacita, dan kamu
berbahagia didalamnya. Lebaran tahun 2010 saya merayakannya di Banyumas, 2011
di Tual, dan insyaallah 2012 di Malang. Aih,
banyak juga yah rumah saya…
home to you, mudik to you >-< |
Teruslah berjuang...
Ramadan seperti
sekolah, selama berpuasa banyak yang harus kita pelajari dan siapkan untuk
sebelas bulan sesudahnya. Apa-apa yang kita tempa selama Ramadan, mestinya bisa
terus dijaga dan dirawat agar semakin berkembang di bulan-bulan selanjutnya.
Bulan syawal, iedul fitri, bukanlah hari kemenangan. Bukan hari bebas dari
belenggu puasa. Justru inilah pintu menuju tahap selanjutnya; suatu pembuktian,
jawara manakah yang bisa tetap istikomah.
novi mengucapkan: selamat menjalankan ibadah puasa dan mohon maaf lahir dan
batin :)
____________________
trims ukhti Dhiba Ainisa Umarghanies untuk gambar-gambarnya yang menawan
saya sedih sekali karena agama sudah jadi komoditas. agama islam pula, karena mayoritas orang Indonesia islam. Puasa, lebaran, musim haji, semua banyak mitosnya, banyak melencengnya.
ReplyDeletebukan agama (islam)ajah kuk. banyak hal terjadi di luar sana, tanpa kita sadari :)
DeleteBagus mbakbroo artikelmu... 4 hempol buat anda kisanak...
ReplyDeleteaku tersanjung... kisanak
Delete*koyok lagi pentas TK2 ae kisank-kisanakan :D
tiap orang punya cerita special kala ramadhan ya :) met lebaran di malang ya :)
ReplyDeleteramadhan memang spesial :)
ReplyDeletetrims, kak :)
Anw, ilustrasinya buat sendiri yah? suka liatnya :D
ReplyDeleteno... ada credit title di akhir tulisan :)
Deletediambil dr komik muslimah :)
emm...sedikit terpantik rasanya baca tulisanmu mak..
ReplyDeletesederhana sekali, tapi punya magnet yang cukup kuat untuk menarik pembaca..
(pasti tidak hanya sampai sini aku komen disini mak)..
Emm, selanjutnya bagiku mak, mitos itupun punya makna yang memang harus dibikin 'vulgar di ingatan seluruh lapisan masyarakat, (tapi sblumnya aku ingin bilang -sepakat- untuk mitos pertamamu 'baju baru'). bagiku, mudik dan proses arabisasi memang punya makna penting sendiri mak.
Oke kita coba share lebih lanjut...
pertama, istilah arabisasi seharusnya tdak hanya pda simbol2 dan atribut fisik semata (baju, mukenah, kurma, kacangarab, dll) namun mengenal 'arab' harusnya mengajak kita untuk menelaah sejarah masyarakatnya, termasuk serentetan sejarah nabi Muhammad SAW. Sejarah arab, mengingatkan banyak hal untuk pribadi saya, melakukan perbandingan seajeg mungkin dalam koreksi keimanan, membuat saya smakin terkagum2 dengan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta membantu perbaikan onderdil dalam diri saya (jujur, seperti melihat tayangan film Omar: sejarah Rasul selama sahur berlangsung di bln Ramadhan ini. yang mungkin dirimu juga menyebutnya tren tayangan ramadhan).. Maka, lewat tulisan2 begini ini mak, mari coba kita ajak masyarakat memaknai kata 'arab' lebih ke arah ini..
kedua mak, tentang mudik..
bagiku makna mudik lebih identik dalam pemaknaanku dengan istilah silaturrahim. Dalam sebuah forum yang pernah ku ikuti, kata rahim dimaknai benar2 rahim(tempat bayi bernaung sebelum lahir). maka atas nama penghormatan dan pertalian darah yg kuatlah yang membuat saya sepakat melihat orang2 wira-wiri menemui sang pemilik rahim untuk sekedar mengecup tangannya. mungkin kamu bisa mengikis ini dengan alasan jarak dan uang mak, (dan aku tidak berani mendebat lebih, mengingat aku sendiri g pernah punya pengalaman berpisah lintas pulau dengan sang pemilik rahim yang pernah ku tinggali), hanya aku harap ada pengecualian dalam pemikiranmu. Akan sangat disayangkan jika anak tidak mudik hanya karena uang semata (eman, labih teatny) atau hanya sekedar karena merasa 'cukup' bila berkumpul dengan teman2 di dekatnya, tanpa menyimpan kerinduan pada sang pemilik rahimnya..
ya, bgitulah mnrutku..
senang bsa dskusi lgi mak.. ^^
Mak fit..
DeleteSenang yah akhirnya bisa berdiskusi lagi. Saling membantah dan menambal.. Meski jarak memisahkan, bukan masalah ternyata.
btw, iki komen opo artikel yoh mak… puanjang bianget.. (apa perlu aku buat award komen terbaik of the year? Pasti kamu yang menang, mak. hahah)
Setelah baca komenmu, aku baru sadar, dari kacamata mana sih kita baca situasi seperti ini. Pisau bedah apa yang dipakai….
Dan I think, dari awal --dengan meminjam kata komodifikasi, sebenarnya saya sedang memahami kondisi sekarang dengan sedikit ngintip teori marx tentang kapitalisme. (sebenarnya aku yo gak trlalu paham sieh.. hoho)
Setelah marx, ada baudillard yang membaca persolana kapitasilme lebih lanjut. Baudillard. Jika marx bilang penggerak ekonomi itu mode of production, bagi baudillard, yang ada sekarang adalah mode of consumption. Konsumsi tidak hanya dlm ekonomi, tapi juga budaya, sosial dll.. Konsumsi bukan hanya pada materi, tap juga tanda-tanda simbolik.
Nah, bicara soal tanda, simbol, apa yang dibilang Baudillard simulacrum, mungkin bisa kita sederhanakan minjam teorinya saussure dan roland barthes mengenai tanda. Jadi tanda itu ada makna 1 dan makna 2. ada surface dan depth meaning. Ada yang luaran dan ada yang lebih mendalam. Dan makna2 itu direpresentasikan dalam tanda.
Tanda, apakah mengonsumsi tanda berarti juga mengamini maknanya. Atau hanya as a simulacrum. Mengonsumsi tanda seolah tanda itu adalah makna. Menurut saya tanda hanya simplifikasi saja. Dan seperti yang kita lihat, tanda akhirnya malah kadang jadi tidak bermakna apa-apa. -tergantung orang yang menginterpretasikannya.
Semua proses ini hadir dalam keseharian kita. Dan ramadhan dan seperangkat nilai islam yang berasal dari tanah arab tak luput dari itu. Kearifan islam yang dihadirkan -terutama oleh media televisi (I mean, contoh2 yang aku perhatikan kebanyakan dari televisi), akhirnya berbatas pada atribut-atribut seperti jubah, jilbab dan lain-lain…
Dan soal mudik. As you say, bukan soal mudik. Tapi soal silaturahim. Ada juga loh yang menyebutnya silaturahmi. Rahmi dengan makna kasih sayang. Menyambung kasih dengan orang2 terkasih. Aku tidak memungkiri, bukankah iedul fitri lebih indah saat dirayakan bersama orang tua dan kerabat? Tapi disaat kita tidak bisa, kenapa harus memaksa? Pada suatu ketika, kita kahirnya belajar berkompromi...
Waow....
ReplyDeletemasih sesegar ini aktifasi kognisimu mak..hehee, Gud ^^
aku masih ingat, kita pernah mengadopsi istilah 'tanda' dalam diskusi film identitas, di forum ppmi lebih dari 3 bulan yang lalu mak..
Emm...memang, tanda dan serentetan maknanya, memang selalu bisa menyuguhkan "sesuatu" hingga disebut2 seperti: made of production, atau made of consumption, jika dikaji dalam ruang filsafat dan ruang diskusi akademik. Dan aku masih banyak sepakat dengan penjelasanmu mak.
tapi kau tahu, sejak bergumul dengan masyarakat (like me now), makna tanda tidak lagi menjadi penting mak, selama kita bisa mengambil 'baiknya' dalam kapasitas kita (just get it!!). Tapi setelah kupikir2, pemaknaan ini bagiku juga masuk dalam kategori hasil pemikiran yg filosofis jika aku diberi kesempatan untuk menjabarkannya disini (Padahal, sejak sebelumnya udah ngoceh g tau diri, hehehe), begini mak, proses memaknai sesuatu dengan kapasitas kita, membuat kita tak peduli dengan anggapan orang. Nilai 'plus' dalam sebuah kejadian yang jika meminjam istilahmu "makna dari sebuah tanda" ya itu tadi, dikembalikan pada interpretasi masing2.. dan persepsiku begini, wajar kan?..
NB (nebeng bisik2): kau bisa membayangkan, aku sering kena teguran masku karena sering vulgar bilang tak sepakat dengan ibukku atas aturan2 yg bagiku tidak masuk akal di rumah mak.. hemm...sampai2 aku menemukan kesan, ibuku sepertinya pingin ngusir aku jauh2 dari rumah..hehehe
and, the last, aku senang berkompromi mak, asal bisa memberi alasan sebaik mungkin... ^^
miss u mak..