Friday, 28 December 2012

#gambar idoep: Luther


Cerdas Beragama





Cerita bermula dari Luther yang pada suatu malam gelap, hujan lebat di luar. Gemuruh petir menyambar. Dalam keadaan kuyup dan ketakutan, Luther bernazar, ia akan jadi BIARAWAN jika TUHAN menyelamatkan hidupnya. Maka jadilah anak penambang ini seorang Biarawan.

Suatu ketika, setelah jadi biarawan, ia diutus mengantar surat ke Roma. Meski termasuk pendeta baru, ia berpendidikan tinggi, seorang sarjana hukum, karena itu di anatara sekian biarawan, Luther yang diutus ke Roma.

Masuk gerbang kota, ia dikagetkan dengan kehadiran pelacur, pengemis, dan selusin orang-orang miskin. Pendeta bebas menyalurkan hasrat dengan pelacur, serta santo-santo digadaikan dalam jimat yang dijual bebas.  

Ia menyaksikan sendiri, di Roma ini, orang-orang harus mengeluarkan uang setiap kali berdoa. Untuk dapat berdoa di depan tengkorak Yohanes, ia harus membayar terlebih dulu, sudah begitu, tidak bisa berlama-lama dan berkhusuk-khusuk ria. Pendeta yang menjaga akan segera menyeret keluar jemaah yang terlalu lama berdoa. Di belakang, masih ada ratusan orang mengantri.

Lain waktu ia mengikuti ritual penebusan dosa. Dengan membeli indulgensia, berdoa Bapa Kami setiap anak tangga dari paling bawah sampai puncak, ia akan membebaskan orang yang didoakannya, sang kakek Hendrik Luther dari apu penyucian menuju gerbang surga. Satu perak untuk satu indulgensia. Kalau ditambah barang dua tiga perak, ia mungkin bisa membebaskan keluarganya yang lain juga. 

Sepulang dari Roma, ia mulai merasakan ketidakberesan dalam Katolik Roma. Luther, oleh gurunya, kemudian dikirm untuk menuntaskan keinginantahuannya yang dalam akan kasih Tuhan yang sebenarnya untuk belajar teologi di Wittenberg.

Sama halnya seperti di Roma. Di sini pun, Luther masih menemukan kenyataan yang berlawanan dengan akal sehat serta hati nuraninya. Setiap pendeta baru datang, berarti beban bagi warga Wittenberg. Membayar sedekah untuk menanggung hidup si pendeta. Sementara mereka sendiri harus melarat.

Ia melihat bagaimaan Pendeta berkhotbah di hadapan kerumunan rakyat miskin bin melarat, para tukang, kuli, pelacur, peminta-minta, seperti layaknya sales mengobral indulgensia. Dengan memberikan efek dramatis, seperti visualisasi neraka. Mereka yang berdosa, akan dibakar dalam bara api.

Dibayangi ketakutan seperti itu, jemaah berbondong-bondong membeli indulgensia. Tidak tega rasanya membayangkan sanak keluarga mereka kelak dilahap  api neraka. Indulgensia, seolah rakit yang akan melarung mereka menuju keselamatan tuhan. Surga.

Luther jelas marah. Tuhan Maha Pengasih, baginya. Dialah yang karena cinta kepada umatnya, rela memikul salib. Tapi tuhan, telah dihadapkan kepada umatnya sangat menakutkan, menyiksa, menyeramkan, dan pamrih.

Indulgensia, hanya selembar kertas yang bisa dikeluarkan oleh setiap Uskup. Tapi lembar kertas ini, bisa ditukar dengan kepingan uang yang konon dapat menyelamatkan manusia dari api neraka. Luther menyangkalnya. 



Ia lantas menulis surat yang berbunyi;

Kepada Albert di Mainz.
Bapa dalam Kristus dan pangeran yang termasyhur.

Maafkan atas kelancanganku menulis surat padamu. Aku memberanikan diri sebab itu tugasku untuk melayanimu dan memperingatimu akan praktik tidak benar dari mereka yang mengaku meakili Anda. Kristus tidak memerintahkan penyebaran indulgensia. Tapi penyebaran injil.
 
Orang Kristen harus diajarkan kalau orang memberi pada yang miskin, atau meminjamkan pada yang membutuhkan, melakukan hal yang lebih baik daripada yang membeli indulgensia. Kalau Paus bisa mengosongkan api penyucian, mengapa dia tidak melakukannya demi kasih namun demi uang?

Surat itu kemudian sampai ke Roma, kedua murid Luther di sekolah teologia mencetaknya makin banyak dan menyebarluaskannya ke semua warga. Dan tebak, bagaimana reaksi masyarakat kelas bawah dan para penguasa negara dan pemuka gereja.

Hidup Luther mulai berbuah ketika ia memutuskan untuk mengikuti hati nurani dan melawan ketidakadilan. Ia mulai terseret dalam kelindan penguasa dan gereja. Antara Jerman dan Roma. Ia mengahadapi berbagai kemelut dalam hidupnya. Ia berjuang keras untuk itu. Satu prestasi terbesarnya adalah menerjemahkan Injil dari bahasa Yunani ke bahasa Jerman. Sejak itu pula, gereja Jerman memisahkan diri dari Roma. Ini yang kemudian kita kenal sebagai peristiwa reformasi gereja.

Gereja, pada masa itu, begitu hegemonik. Bagaimana tidak, sumber pengetahuan agama adalah Injil, tapi injil ini berbahasa Yunani sementara berjuta umatnya bukan orang Yunani saja. Jadi, siapa yang punya sumber otoritas penyebaran Injil selain mereka yang bisa berbahasa Yunani dan belajar Theologia. Orang miskin hanya punya sedikit kemungkinan. Untuk bisa sekolah, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.

Baik penguasa negara maupun gereja, dalam hal ini, melestarikan hegemoni mereka atas khalayaknya dengan tetap membiarkan mereka bodoh, menjauhkan mereka dari pengetahuan. Agama juga mereka gunakan sebagai sarana. Lewat agama, mereka mengeruk kekayaan untuk penguasa. Ambil contoh indulgensia tadi. Lewat agama, orang diajarkan untuk patuh seutuhnya pada penguasa, meski selalim apa pun orangnya. Agama mengajarkan orang untuk bersabar atas segala keterpurukan, kebodohan, kemiskinan yang mereka alami. Seolah seperti itulah mereka maksud penciptaan mereka, bukan karena penguasa yang tidak becus mengurus rakyatnya.

Agama bagai candu bagi masyarakat ini (mengutip eyang Marx). Candu yang membuat mereka lupa akan segala bentuk kemiskinan dan derita, sebab satu pengetahuan telah mengelabui mereka; surga dijanjikan bagi mereka yang bersabar dan taat. Jadi, semakin seseorang beragama tanpa kecurigaan, maka semakin ia tak berdaya untuk melawan. 






Wednesday, 19 December 2012

tentang ingatan

from here



Ingatan saya cukup baik. Masih jelas menghadirkan potongan-potongan kisah yang berkesan bagi saya. Bahkan visualisasi bisa lebih jelas saat momen-momen tertentu.

Saya bersyukur untuk itu. Tapi tidak untuk beberapa kasus.

Saya bukan tipe orang terbuka. Juga bukan orang yang dengan mudah percaya dan mempercayakan hati pada orang lain. Mungkin ini warisan dari leluhur saya, libra. Penakar untuk menimbang-nimbang segala sesuatu, bahkan pada hal-hal yang mungkin tidak perlu ditimbang juga. Karena itu, ketika saya sudah memutuskan, saya berharap itu yang terbaik dan abadi. Saya tidak pernah menyiapkan diri mengahadapi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi di awal, tengah atau akhir perjalanan.

Dan ketika kemungkinan itu menampakkan diri dalam kenyataan, saya limbung.

Kerapuhan menggrogoti saya perlahan-lahan. Tapi kamu tidak pernah tahu, kan?

Ia, ingatan saya, sama kurang ajarnya dengan rindu. Datang tanpa diminta. Mendudukkan saya di depan layar memutarkan film yang sama sekali tidak ingin saya tonton. Ia bisa saja melakukan itu sekarang, besok, atau sepuluh tahun lagi. Tak peduli saya di mana. Bergandeng dengan siapa, sedang mencium siapa. 





Monday, 17 December 2012

(calon) Rektor Baru...


Sebentar lagi kampus saya akan punya rektor baru. Setelah sekian tahun rektor kampus saya satu orang itu saja. Mulai jaman nama kampusnya masih UIIS, Stain, sampai jadi UIN kayak sekarang. Kira-kira lebih dari 12 tahun lah…

Ini pasti kabar gembira bagi hadirin setia acara-acara besar kampus yang mewajibkan rektor ceramah sambutan. Sebab mereka tidak akan mendengar satu album kaset yang diputar terus-terus. Kampus ini sudah begini, berprestasi begitu, dan punya mahasiswa internasional dari negara sana-sini, punya program unggulan blah-blah-blah, dan bayak mencontohnya….. Kira-kira begitulah kalau calon mantan rektor saya ngasih sambutan di setiap kesempatan. Saya pernah bertemu seorang ibu, waktu tahu saya anak UIN, si ibu langsung tanya, rektornya masih yang lama? Sudah tua yah, kuk belum ada penggantinya yang muda? Kalau sambutan suka ngulang-ngulang yah… mungkin sudah tua kali, ya, mbak. Saya mesam-mesem menanggapi.

Kabar burung yang beredar (gak tahu deh burung dari mana), dari 4 bakal calon sebenarnya yang dijagokan cuma satu. Yang lainnya sebagai pelengkap gitu. Dan mungkin itu sedikit benar. Beberapa hari lalu waktu penyampaian visi-mis calon rektor, hanya 1 yang yang terlihat bersemangat dan yakin akan terpilih. Sisanya seperti presentasi biasa di kelas. Malah ada 1 calon tidak hadir. Sakit katanya.

Saya jadi teringat masa sma dulu. Waktu pemilihan ketua OPPK Putri (semacam OSIS gitu) saya dan teman-teman satu angkatan sudah sepakat memilih Aan sebagai ketua, Naila jadi wakil, saya jadi sekretaris, dan Leli jadi Bendahara. Sampai struktur-struktur kecilnya sudah kami siapkan semua.

Tapi OPPK Demisioner punya aturan sendiri yang harus kami taati soal regenerasi. Katanya kami perlu belajar menjalankan pesta demokraasi yang baik dan benar. Menurut aturan, jabatan ketua diisi oleh calon dengan suara pemilih terbanyak, jabatan sekretaris dan bendahara diisi oleh calon-calon sisanya. Ini berarti, biar saya atau Leli dan Naila tidak ingin jadi ketua, mau gak mau harus ikut serangkain acara pemilihan agar struktur yang sudah kami sepakati sebelumnya tidak berubah.

Mula-mula dibentuk kelompok (partai) untuk tiap calon. Anggota-anggotanya ini yang akan mensosialisaikan dan mengampanyekan calon ketua ke semua siswa. Lalu ada malam jajak pendapat, kampanye monologis, kampanye dialogis, psikotes (kayak mau lamar kerja ajah :D), sampai malam ploncoan khusus sama pengurus demisioner. Ploncoan, habisnya ini mengingatkan saya pada malam MOS. Jam 12 belas dibangunkan, dan di suruh ke sekolah, dan masuk ruangan untuk diinterogasi dan suruh macam-macam.

Untuk menyiasati biar massa tidak terkecoh selama masa kampanye, kami menugaskan mata-mata untuk menyebarluaskan propoganda ke adik-adik kelas: Dek, ingat! Jangan lupa yang dipilih itu mbak Aan yah…

Semuanya saya lewati dengan perasaan enteng. Tanpa beban sama sekali. Saya menikmati ini sebagai permainan drama. Kecuali saat harus berbicara depan umum. Saya suka grogi dan mules.
 
Well, saya harap pemilihan rektor bisa lebih demokratis dan dewasa :)

Semoga rektor baru bisa memberi perubahan. Sebab sepertinya yang namanya rektor itu jauh dari mahasiswa. Gak merakyat. Tersembunyi di balik menara gading gedung rektorat. Rektor cuma bisa ditemui saat pembukaan OSPEK, seminar-seminar yang mendatangkan menteri anu, gubernur itu, dan dirjen ini. Atau minta tanda tangan proposal kegiatan, itu juga jarang-jarang.

Saya sangat ingin melihat adik-adik tingkat saya bisa hidup bebas di bawah kebijakan yang memang bijaksana. Saya tidak ingin melihat mereka harus terkungkung satu tahun di asrama yang buka sampai pukul 09.00 malam. Mereka tidak harus wajib mengikuti kuliah bahasa Arab dari pukul 14.00-20.00 selama dua semester penuh, tiap Senin-Jumat (ngalah-ngalahin anak pesantren.) Mereka-mereka ini kelak tidak boleh jadi korban pencitraan kampus. 

Semestinya mereka bisa punya banyak waktu luang untuk belajar lain-lain yang juga penting, misal mengembangkan bakat-minat di unit aktivitas mahasiswa, menyalurkan hasrat berorganisasi, ikut club-club debat, atau sekadar baca buku di perpustakaan. 

 Hopefully…





Wednesday, 12 December 2012

tak bernama


pict from eyang google


ombak kesedihan menerpa sesuatu tak bernama di dadaku
suatu tempat perasaan bermuara
bergulung-gulung
desak-mendesak.

apa ini...
air mata bahkan tak mampu menerjemahkannya
bukan,
bukan bimbang,
gamang
apalagi galau
atau saraf sedang galat

yang kutahu, hanya wajahmu terus membayang




Friday, 7 December 2012

my fave boy



what do you think?

November kemarin saya menemani teman saya, Si Ariph, menemui Mas Alfan di sekretariat Dewan Kesenian Malang (DKM). Mas Alfan tinggal di situ sama keluarga kecilnya. Mas Alfan ini pelukis. Nah, yang di atas itu lukisan dia juga. Waktu pertama masuk galeri kerjanya, mata saya gak bisa lepas dari this lil boy. Langsung jatuh cinta :)






Tuesday, 4 December 2012

#novel: The Expected One




Kalau ada yang bilang The Da Vinci Code-nya Dan Brown kontroversial lantaran mengisahkan Yesus seperti manusia biasa yang juga bisa menikah. Lebih gila lagi, menikah dan memiliki anak dengan perempuan yang dalam gereja dianggap sebagai pelacur, Maria Magdalena. Novel Kathleen McGowan ini lebih kontroversial lagi.

Maria Magdalena, dalam novel ini, berasal dari keluarga bangsawan Yahudi. Sejak kecil, dia dekat dengan Easha, nama kecil Yesus. Namun ketika dewasa, ia terpaksa dinikahkan dengan Yohanes Sang Pembaptis. Pernikahan ini sarat intrik politik kekuasaan dan agama. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Yohanes-Yusuf

Bagaimanapun, takdir akhirnya menyerah pada kekuatan cinta. Yohanes mati dipenggal, dan Maria menjanda. Takdir pula yang mempersatukan kembali Yesus dan Maria. Yesus menerima Maria apa adanya, meski Ia tahu Maria janda beranak satu. Mereka memiliki sepasang anak, Sarah-Tamar dan Yeshua-Daud

Itu baru soal percintaan. Belum soal politik dalam kehidupan Yesus-Maria-Yohanes yang mengantarkan mereka pada ajal dan pengasingan. Yohanes mati dipenggal oleh penguasa Herodes, Yesus mati disalib, sementara Maria harus menyelamatkan keturunan Yohanes dan Yesus dari kejaran para penguasa. Anak Yohanes akhirnya diselamatkan para pengikut setia bapaknya, sementara maria dan anak-anak Yesus meneruskan perjalanan ke dataran Eropa. Di sanalah mereka meneruskan hidup dengan menyembunyikan identitas, agar bisa hidup tenang dan selamat.

Saya melihat ada kesamaan antara The Da Vinci Code dan The Expected One dalam menceritakan Maria Magdalena. Maria Magdalena tidak pernah dihadirkan sebagai karakter utama dan cerita yang berdiri sendiri. Kisah Maria, seperti bingkai dalam bingkai. Jika dalam The Da Vinci Code, Sophie dan Robert menyibak misteri Maria dari kode yang mereka pecahkan, dalam The Expected One ini Maria tampil di atas catatan yang ditulisnya sendiri yang di kemudian hari ditemukan oleh Maureen. Catatan itu dikenal sebagai Injil Arques Maria Magdalena, Kitab Para Murid.

Eniwei, saya menghatamkan novel ini selagi lampu di kamar mati minta diganti. Tiga malam ditemani lilin, dan pintu yang dibuka lebar, biar cahaya dari luar kamar bisa nyelinap masuk. Dan Christina Perri berulang-ulang menyanyikan A Thousand Years. Kayaknya lebih pas jadi soundtrack novel ini ketimbang jadi OST Breaking Dawn :)


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...