"Kamu
itu perempuan", mama menyisir rambutku, agak kasar. Mungkin sudah hampir seminggu tidak disisir.
"Belajar
yang benar", rambutku menjerit. Sakit.
"Harus
berpendidikan". Aroma santan
tercium dari sela-sela rambut.
"Biar
tidak seperti bibimu, kerjanya Cuma di dapur. Mau ini itu, susah. Minta sama
suami dulu". Iya kalau dikasih.
"Perempuan
berpendidikan itu lebih dihargai". Mama melanjutkan menyisir.
Aku
dibesarkan perempuan ini. Ia seorang guru. Kemana ia pergi, orang-orang
menatapnya takzim. Anak-anak kecil berebutan mencium tangannya. Dan ibu-ibu di
pasar menyisihkan sayur dan buah barang sedikit untuknya jika bertemu.
Alasannya sebagai tanda terima kasih telah mengajari nona dan nyong. Anak-anak
pada pintar membaca dan menghitung.
"Satu
lagi", serasa lebih mudah setelah dikasih santan. "habis kuliah,
jangan keburu nikah".
Aku tidak
tahan untuk memutar badan menatap mama.
"Kok
begitu?" pacarku Si Boy pasti tidak mau menunggu lama.
"Cari
kerja dulu. Biar nanti bisa bantu adik-adikmu sekolah," mama merapikan
poniku. "Atau paling tidak bermanfaat untuk kamu sendiri".
"Daripada
nanti ijazah kamu cuma buat pajangan di lemari. Lihat Halik Min tuh. Habis
kuliah langsung nikah. Sekarang apa?"
semua orang di kampung tahu, dia cuma jadi ibu rumah tangga. Beruntung
jadi nyonya kepala desa.
"Percayalah. Kau tahu orang-orang di sini
seperti apa". Mama menggengam tanganku.
Aku menunduk
dalam. Ada sesuatu yang dingin menjalar di kulit kepala. Mengalir turun ke
pelipis, putih. Aku membiarkan santan
merayap turun ke pipi, berbelok di sudut bibir.
Aneh,
rasanya bercampur asin.
"Itulah
harga yang harus ditebus seorang
perempuan".
Di sini kita bukan apa-apa, apalagi siapa.
Tidak bisakah aku menjadi ada cukup dengan keperempuananku saja?
ditulis 6 mei 2011
Perempuan harus melewati batas darikemampuannya.. karena kalian spesial..
ReplyDeletesemoga perempuan dapat berkiprah dengan tetapmenjadiperempuan...
Delete