Coba perhatikan wajah-wajah di layar televisi anda akhir-akhir
ini. Ada banyak sekali wajah-wajah putih bersih, tinggi semampai, berambut
lurus. Cantik. Hadir dalam berbagai bentuk. Presenter, bintang film, aktris
sinetron, model, penyanyi, bintang iklan. Mereka hadir setiap hari di berita,
gosip, talkshow, pentas musik, sinetron, dan beragam acara lainnya. Selain
cantik, posisi mereka sebagi selebritis membuat mereka populer. Selebritis;
mungkin ini kata yang tepat untuk pekerja seni tersebut.
Belum pernah ada riset atau sensus mengenai hal ini, tapi
perhatikan sekali lagi layar televisi Anda; kebanyakan selebritis tersebut
berdarah campuran. Sebut saja Cinta Laura (Jerman-Indonesia), Yuki Kato
(Jepang-Indonesia), Nabila Syakib (Arab) Sandra Dewi (Tionghoa ) dan beberapa
nama lain seperti Dewi Sandra, Tamara Blezinsky, Marisa Nasution dan yang
lainnya.
Lantas kenapa jika banyak wajah perempuan-perempuan berdarah
campuran di televisi? Menurut Naomi Wolf, perempuan entah itu yang putih,
hitam, atau sawo matang memiliki persepsi yang sama mengenai kriteria
kecantikan. Prototipe kecantikan ini bisa ditemui di tubuh seorang model:
tinggi, kurus, berambut lurus, wajah bebas jerawat –tanpa noda, dan tentu saja
hidung mancung. Sangat eropasentris.
Kriteria cantik seperti ini jarang ditemukan dalam tubuh perempuan
indonesia yang ayah ibunya orang melayu. Kecuali yang terlahir dari percampuran
ras. Kecantikan mereka dianggap mewakili standar kecantikan eropasentris,
sehingga kemudian yang kita temui hari ini adalah menjamurnya wajah-wajah ala
luar negri di berbagai program televisi.
Keturunan Arab atau Tionghoa dalam hal ini, meskipun bukan Eropa,
tapi kulit mereka yang lebih terang dari orang indonesia umumnya kemudian
disejajarkan dengan kelompok keturunan Eropa. Yang bukan Indonesia, selalu
lebih menarik.
Asumsi kecantikan ini tak bisa lepas dari sejarah penjajahan dan
imperialisme di berbagai belahan dunia seperti Afrika, India, Malaysia dan
Indonesia. Indonesia pernah dijajah belanda selama 350 tahun, buka waktu yang
singkat. Belanda tidak hanya menjarah kekayaan alam dan memperbudak bangsa
Indonesia, secara fisik, melainkan juga secara psikis.
Edward Said dengan berpijak pada teori Michel Foucault mengenai
relasi kuasa/pengetahuan menganalis kerja orientalis. Orientalisme adalah
kajian budaya, bahasa, dan lainnya. Beas nila da objektif. Nyatanya,
pengetahuan ini kemudian digunakan eropa sebagai sarana melanggengkan
kekuasaan. Menanamkan cengkramannya lebih dalam.
Eropa, penjajah lantas merasa superior, sedang yang dijajah
inferior. Tidak berpendidikan, dekaden, dan tidak berbudaya. Sehingga mereka
merasa perlu melakukan usaha balas budi yang diprakarsai lewat pendidikan,
penanaman pengetahuan bahwa yang ala Eropa ini lah yang baik. Mitos kecantikan
yang kita warisi saat ini, merupakan salah satu artefak sejarah; Eropa
(masih)berkuasa di sini. Orang-orang kemudian berlomba-lomba menjadi seperti
Eropa; merayakan mimikri, meniru false identity. Kita kemudian jadi
asing dengan budaya kita sendiri.
Semasa penjajahan pernah ada pembagian masyarakat menurut hukum
Belanda yang terdiri atas;
a. golongan Eropa;
b. golongan keturunan Eropa;
c. golongan Timur Asing;
d. golongan Bumiputera
Pembagian kelas jelas menunjukkan adanya diskriminasi ras, dimana
yang kulit putih jauh lebih tinggi dari berwarna. Dampaknya bukan dalam
persoalan hukum semata, tapi juga secara sosio-kultural. Tokoh Samsul Bahri
dalam roman Siti Nurbaya contohnya, memilih menjadi opsir Belanda. Sebab
bekerja pada Belanda lebih terhormat. Seolah-olah dirinya adalah Belanda itu
sendiri.
Menyoal kecantikan, Hanafi yang diceritakan dalam Salah Asuhan karya
Marah Rusli tergila-gila kepada noni Belanda, Corrie. Ia lebih mencintai Corrie
yang putih, berbudaya dan terpelajar dibanding gadis pilihan ibunya. Rapiah.
Gadis kampung yang tidak bisa menata rumah dan memasak ala orang Belanda.
Hari ini, ketika televisi kemudian marak menampilkan wajah-wajah
keturunan, suatu indikasi bahwa pengaruh penjajahan masih menghegemoni bangsa
ini. Persis seperti yang dikatakan Leela Gandhi, salah seorang tokoh
poskolonial, bahwa relasi penjajah-dijajah adalah hubungan hegemonik. Prabosmoro
dalam analisisnya atas iklan sabun yang dibintangi artis berdarah campuran
mengungkapkan bahwa tubuh model-model tersebut telah dipakai sebagai
representasi perempuan kulit putih.
Semakin sering wajah-wajah selebritis ini digembar-gemborkan,
semakin terhegemonilah kita. Krisis identitas sedang berlangsung. kita semakin
tercerabut dari akarnya. Sementara kita sama sekali tak sadar.
Program televisi yang persuasif menyebarkan standar kecantikan
adalah iklan-iklan tubuh dan wajah. Iklan sabun, losion, facial foam,
menjanjikan kulit putih mulus. Penggambarannya dengan seorang bintang iklan
yang awalnya berkulit gelap, jadi putih selama memakai produk tertentu.
Jangan heran jika kelak Anda menemui orang-orang serupa bule di
jalanan, pasar, stasiun, atau di mana saja. Anda mungkin terkejut, teman yang
dulu hitam, sekarang lebih terang kulitnya. Krim pemutih sedang laris memang,
salon dan dokter kecantikan pun begitu. Injeksi pemutih jika tak ingin repot.
Perempuan-perempuan di Bima pernah diberitakan gencar melakukan
rebonding agar dapat memiliki rambut lurus. Sedang istilah buceri muncul
sebagai penanda orang yang mengecat warna rambutnya menjadi pirang, blonde,
merah. BUle Cat sEndiRI.
Suatu ketika, saya memergoki keponakan perempuan sedang bermain
bedak. Bedak tersebut ditaburkan keseluruh tubuh. Di kaki, lengan.
Penampilannya persis seperti tikus kecemplung tepung. “Ini biar putih,
cantik...” jawab si kecil, saat itu masih TK, ketika ditanya. Anak kecilpun
sudah terpengaruh. Cantik = Putih.
Lagi-lagi, seperti Hanafi dan Samsul, perempuan Indonesia
terperangkap dalam mimikri. Hasilnya, mitos cantik adalah kulit putih tak
sekadar diamini, sayangnya juga dihayati dalam laku.
Bukan
bermaksud untuk menghakimi selebritis, toh mereka juga korban dari sistem yang
membelenggu. Mereka korban, masyarakat juga korban. Sama-sama tidak menyadari
kekuatan besar berupa belenggu ideologi kulit putih, Eropa. Satu hal yang
pasti; penjajahan masih berlanjut.
Referensi
Ashcroft, Bill, etc.2003. Menelanjangi Kuasa
Bahasa: teori dan Praktik Sastra Kolonial. Yogyakarta: Qalam
Gandhi, Leela.
2001.Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Qalam.
Prabosmoro, Aquarini Prayitna. 2003. Becoming
White: Representasi Ras, kelas, Feminitas dan Globalitas dalam iklan Sabun.
Bandung: Jalasutra
Sardar, Ziauddin and Borin Van Loon. 2005. Seri
Mengenal dan Memahami Cultural Studies. Jakarta: Scientific Press
Wolf, Naomi. 2004. Mitos
Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara.