Roda sepeda motor
yang saya kendarai berputar, terus melaju memasuki kecamatan Singosari,
kabupaten Malang. Singosari, nama ini tercatat dalam buku-buku sejarah sebagai
nama kerajaan. Nama yang mengingatkan saya pada Ken Arok, Kendedes, Ken Uma,
dan Tunggul Ametung.
Ingatan akan sejarah
masa lampau diperkuat dengan nama-nama jalan yang kami lalui seperti Tumapel,
Kertanegara, dan Tunggul Ametung. Candi Singosari berdiri tegak di Jalan
Kertanegara.
Sekitar 5 kilo meter
ke arah utara. Ada candi lain selain Candi Singosari. Saya meneruskan
perjalanan ke desa Toyomarto. Dari jalan beraspal berbelok masuk ke arah
pepohonan. Jalan menyempit, susah dilewati sepeda motor.
Butuh berjalan kaki
sekitar 400 meter sampai tiba di lokasi candi. Sisi kiri jalan sungai mengalir
pelan, airnya jernih. Lumut dan bebatuan di dasar tampak jelas. Anak-anak
bermain riang di sungai. Ada pula yang sibuk menyuci pakaian dan sepatu.
Di antara pepohonan,
sungai dan telaga terdapat bebatuan tersusun rapi. Bagian dasar berbentuk
persegi. Lapiknya berbentuk persegi dan segi delapan. Paling puncak,
diasumsikan berbentuk seperti lonceng, atau cangkir terbalik. Namun bagian
pucuknya hilang, belum ditemukan. Bagian hilang itu dinamakan stupa. Tempat
penyimpanan relik dan benda-benda suci.
Sumberawan.
Begitulah nama yang diberi untuk candi dan stupanya. Orang-orang desa
menyebutnya Candi Rawan. Cukup Rawan saja.
Nur Yadi, juru
pelihara candi, mengatakan bahwa ini satu-satunya stupa di Jawa Timur. Penganut
Budha yang tidak merayakan waisak di Borobudur, biasanya merayakan di sini.
Candi ini sudah ada sejak abad 14, sekitar tahun 1359. Candi dibangun pada masa
Majapahit, pada pemerintahan Hayam Wuruk. Fungsinya sebagai tempat
meditasi, cocok dengan suasana kaki bukit Arjuna.
Tahun 1845 pertama
kali ditemukan oleh Belanda, kemudian direstorasi pada tahun 1973. Pemugaran
dilakukan pada bagian kaki dan Batur.
Beberapa meter depan
candi terdapat tempat berdoa. Dua batu berbentuk kursi ditata rapi di belakang
meja batu kecil tempat dupa. Setanggi merah menyala menghias meja, masih
menyisakan bau harum habis dibakar. Di kaki candi dan pemandian di bagian pojok
areal candi juga ada dupa berisi setanggi.
Untuk menikmati suasana di sini, pengunjung
tidak dipungut biaya karcis. Nur Yadi membiarkan pengunjung masuk, dan membayar
pastisipasi seikhlasnya saat keluar.
Pengunjung
berdatangan, tidak banyak. Sekadar melihat-lihat, atau berwisata. Ada yang
memanfaatkan pemandian untuk menyegarkan
badan. Hanya barang satu atau dua pengunjung terlihat khusuk berdoa.
nice post...
ReplyDeletesalam silaturahmi
thanks...:)
ReplyDeletesalam kenal, kawan.
cerita dan berkisah..
ReplyDeletemaju bwt tmn akhwt ku..:D
saya hanya menceritakan kembali kisah yang sudah ada:)
ReplyDeletemaju juga buat kamu, kawan:)