Monday, 23 April 2012

cukup rawan

Roda sepeda motor yang saya kendarai berputar, terus melaju memasuki kecamatan Singosari, kabupaten Malang. Singosari, nama ini tercatat dalam buku-buku sejarah sebagai nama kerajaan. Nama yang mengingatkan saya pada Ken Arok, Kendedes, Ken Uma, dan Tunggul Ametung.

Ingatan akan sejarah masa lampau diperkuat dengan nama-nama jalan yang kami lalui seperti Tumapel, Kertanegara, dan Tunggul Ametung. Candi Singosari berdiri tegak di Jalan Kertanegara.

Sekitar 5 kilo meter ke arah utara. Ada candi lain selain Candi Singosari. Saya meneruskan perjalanan ke desa Toyomarto. Dari jalan beraspal berbelok masuk ke arah pepohonan. Jalan menyempit, susah dilewati sepeda motor.

Butuh berjalan kaki sekitar 400 meter sampai tiba di lokasi candi. Sisi kiri jalan sungai mengalir pelan, airnya jernih. Lumut dan bebatuan di dasar tampak jelas. Anak-anak bermain riang di sungai. Ada pula yang sibuk menyuci pakaian dan sepatu.

Di antara pepohonan, sungai dan telaga terdapat bebatuan tersusun rapi. Bagian dasar berbentuk persegi. Lapiknya berbentuk persegi dan segi delapan. Paling puncak, diasumsikan berbentuk seperti lonceng, atau cangkir terbalik. Namun bagian pucuknya hilang, belum ditemukan. Bagian hilang itu dinamakan stupa. Tempat penyimpanan relik dan benda-benda suci.

Sumberawan. Begitulah nama yang diberi untuk candi dan stupanya. Orang-orang desa menyebutnya Candi Rawan. Cukup Rawan saja.

Nur Yadi, juru pelihara candi, mengatakan bahwa ini satu-satunya stupa di Jawa Timur. Penganut Budha yang tidak merayakan waisak di Borobudur, biasanya merayakan di sini. Candi ini sudah ada sejak abad 14, sekitar tahun 1359. Candi dibangun pada masa Majapahit, pada pemerintahan Hayam Wuruk. Fungsinya sebagai tempat meditasi,  cocok  dengan suasana kaki bukit Arjuna.

Tahun 1845 pertama kali ditemukan oleh Belanda, kemudian direstorasi pada tahun 1973. Pemugaran dilakukan pada bagian kaki dan Batur.

Beberapa meter depan candi terdapat tempat berdoa. Dua batu berbentuk kursi ditata rapi di belakang meja batu kecil tempat dupa. Setanggi merah menyala menghias meja, masih menyisakan bau harum habis dibakar. Di kaki candi dan pemandian di bagian pojok areal candi juga ada dupa berisi setanggi.

 Untuk menikmati suasana di sini, pengunjung tidak dipungut biaya karcis. Nur Yadi membiarkan pengunjung masuk, dan membayar pastisipasi seikhlasnya saat keluar.

Pengunjung berdatangan, tidak banyak. Sekadar melihat-lihat, atau berwisata. Ada yang memanfaatkan pemandian  untuk menyegarkan badan. Hanya barang satu atau dua pengunjung terlihat khusuk berdoa.

4 comments:

  1. cerita dan berkisah..
    maju bwt tmn akhwt ku..:D

    ReplyDelete
  2. saya hanya menceritakan kembali kisah yang sudah ada:)

    maju juga buat kamu, kawan:)

    ReplyDelete

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...