Monday, 28 November 2016

batal beli kaos

pict from here



Saya pengen order kaos tokoh, yang ada sablonan wajah Tan Malaka guede-gude di bagian depan, biar orang-orang tahu kalau saya sedang nge-fans sama blio. 

Saya mengunjungi beberapa online shop kaos tokoh. Rata-rata warna dan desainnya seragam. Kalau gak hitam yah putih. Ada pula yang merah jreng, tapi jarang. Di antara yang seragam itu, ada satu yang saya suka. 

Sebelum memutuskan beli di online shop  tersebut, saya liat-liat dulu isi web dan instagramnya. Hm... lah kok ada gambar Ahok pula di situ. Tentu saja saya kaget. Kamu tahu kan, kaos tokoh itu biasanya identik dengan pemikiran dan pergerakan ke-kiri-an

Akhirnya, gak jadi deh pesan di situ. 

Saya emang agak sensi kalau masalah Ahok ini. Lepas dari kasus penistaan agama. Atau identitasnya sebagai etnis Tionghoa atau seorang nasrani. Rasis dan picik jika berpikir seperti itu... 

Kasus Ahok ini memang lagi hot. Tidak menyangkut diri Ahok pribadi saja, tapi juga identitas yang diembannya. Kasus ini seperti menebarkan benih-benih permusuhan di antara orang muslim dan Ahok. Beberapa nasrani pembela Ahok bisa saja terpengaruh. Ia juga berpretensi memecah belah muslim pembela al Quran dan pro Ahok. 

Hanya gegara satu orang ini, Habib Riziq bela al Qur'an, dipojokkan. Buya Syafi'i Maarif bela Ahok, dipojokkan pula. 

Saya agak mengambil jarak dari peristiwa ini. Sebab informasi yang disampaikan media hanya sepotong-sepotong. Cenderung tidak seimbang. Jadi, pemirsa harus lebih bijak, agar tidak menelan begitu saja isu-isu yang penuh intrik dan berkelindan sana-sini.

Capek juga kalo ngikutin berita di TV. Baru ajah istirahat dari maraton drama kopi sianidanya Jessica, sekarang udah Ahok menista Al-Qur'an. Besok apalagi? Kancil korupsi timun?

Well, balik lagi ke laptop. Jadi, bukan lantaran hal di atas saya jadi sensi. Yang saya tidak suka, dia seringkali gusur-gusur warga. Mau alasannya mereka penduduk liar, mau mempercantik Jakarta, atau apapun, saya tetap tidak suka. Itu menyayat-nyayat hati nurani, gaes. Melihat orang-orang kecil diperlakukan seenaknya.  Niatnya mempercantik yang lain, tapi malah melukai yang lain. Haduh. Cantik itu memang luka!

Wajar dong, kalau saya sensi, kok, ujug-ujug ada muka Ahok -si tukang gusur- di lini masa online shop kaos tokoh itu. Hak dia juga sih sebenarnya. Mau jualan muka tokoh siapa saja juga boleh. 

Saya bertanya-tanya, selain sebagai pemimpin daerah, kontribusi apa yang sudah diberikan Ahok?  Mungkin sebab saya tidak tinggal di Bangka Belitung atau Jakarta -tempat Ahok pernah memimpin-, jadi saya tidak tahu sumbangsih apa yang sudah diberikan Ahok bagi rakyat-nya.

Saya scroll  terus ke bawah, melihat lebih banyak isi instragram itu online shop. Saya menemukan Che Guevara, Tan Malaka, Wiji Thukul, Munir dan Cak Nun. Di antara para toko pemikir, revolusioner, pejuang kece-kece itu terselip wajah Ahok. 

Memangnya dia sehebat para tokoh itu? 
Apa dia sekanan mereka?
Apa dia se-kiri mereka? 

Saya tidak melihat itu dalam diri Ahok. 

Hanya karena sebagian besar umat islam -yang dianggap kanan- mendemo Ahok, bukan berarti Ahok itu seorang kiri yang perlu diselamatkan.

Saya rasa, sebelum berpihak, sebaiknya berpikir kritis terlebih dahulu. Jangan sampai belok kiri jalan terus, eh, malah nabrak.    




 

Wednesday, 16 November 2016

sebenarnya

pict from google


Sebenarnya saya mau nulis ini dan itu. Tapi sementara di draft dulu ajah. Lagi panas-panasnya di kepala, takutnya malah terlalu emosional dan gak bisa objektif...

Jadi di postingan ini saya cuma mau bilang, kalo, tulisan saya tentang Pengakuan Eks Parasit Lajang-nya Ayu Utami juga di-publish di Padepokan Air Mata ... dan ada juga, semacam surat balasan, dari emak Fitri yang nulis tentang budaya kawin lari merarik dalam suku Sasak. Tulisannya emak fitri bisa dibaca di sini 

Selamat membaca, teman...    

Saturday, 12 November 2016

#novel: Pengakuan Eks Parasit Lajang




Saya mengenal Ayu Utami, dari buku-buku yang saya baca di perpustakaan kampus. Bagi seorang yang tertarik dengan isu perempuan macam saya, tulisan Ayu Utami makin bikin penasaran. Lebih menarik ketimbang karya-karya perempuan lain. Misal Djenar Maesa Ayu atau Fira Basuki. 

Larung, Saman dan Bilangan Fu, ketiganya berhasil mengajak saya mengenal sosok-sosok lain seperti Toeti Heraty, Derrida, Simone de Beauvoir dan beberapa lainnya.

Kadang-kadang terjadi diskusi kecil antara saya dan teman-teman. Saya ingat, ada Mbak Fitri, Istanti, Winda, Feny dan Ellik yang juga membaca karya-karya Ayu. Bilangan Fu yang paling fenomenal. Apa saja kami bahas, dari kisah percintaan sampai seksualitas dan feminisme dalam karya-karya Ayu. Beberapa dari mereka mengoleksi karyanya (sampai po juga loh...)

Namun, tertarik dan penasaran saja belum cukup untuk mengoleksi karya-karya Ayu. Saya pikir, baca di perpus saja sudah cukup. Sampai akhirnya, setelah semua lulus kuliah dan berpencar, diskusi berlanjut di facebook. Teman-teman merekomendasikan "Si Parasit Lajang." 

Kepada adik saya yang di Malang, saya minta dicarikan trilogi Si Parasit Lajang. Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico dan Pengakuan Eks Parasit Lajang. Dari tiga yang saya order, hanya Pengakuan Eks Parasit Lajang yang tersedia. Jadilah saya hanya membaca bagian terakhir. 

Di bagian akhir ini, berkisah tentang si A(yu) yang semulanya Si Parasit Lajang -menolak menikah tapi tidak selibat-. Sudah tentu A(yu) menolak menikah. Sebab pernikahan, dalam pandangan feminis terhadap budaya timur, adalah sebuah lembaga patriarki. Ia tentu tidak mau dicap perempuan lemah yang hanya dapat bergantung kepada kaum laki-laki.

Yang mengejutkan, di akhir trilogi ini, Si Parasit Lajang memutuskan pensiun. Ia Akhirnya menikah. Ironi memang, setelah sebelumnya ia meyakinkan pembaca agar tak perlu khawatir jika belum menikah atau memang menolak menikah.

Lantas, kenapa A(yu) memilih menikah? 

Pengakuan Eks Parasit Lajang ini menjawab semuanya. Ia semacam argumentasi yang ingin disampaikan A(yu) atas pilihannya tersebut.

Ketika sampai pada halaman terakhir, saya tertawa dalam hati. Seksualitas, feminisme, militerisme, dan spiritualitas yang dibincangkan Ayu dalam bukunya menguap begitu saja. 

Sepanjang, serinci, dan serasional apapun pengakuannya dan alasan yang ia kemukakan kenapa ia menikah, bagi saya, alasan tetaplah alasan. 

Saya menyadari satu hal. Hal sederhana yang kerap kita dengar. Bahwa jodoh, sesungguhnya, adalah rahasia tuhan. Takdir.

Sekhusyuk apapun kau meminta,
jika belum waktunya, 
tak akan kau dapat...

Sekuat apapun kau menghindar,
jika sudah waktunya,
tak dapat kau menolak... 

Thursday, 10 November 2016

Selamat Hari Pahlawan

Mari sejenak mengheningkan cipta, mengenang para pahlawan...

Masing-masing kita, pasti punya pahlawan yang diidolakan. Iya, kan?


 
Sebagai penggemar bulu tangkis, sudah tentu pahlawan saya Liliyana Natsir-Tantowi Ahmad yang mempersembahkan sebuah kado terindah bagi ulang tahun Indonesia, medali emas Olimpiade RIO 2016, saudara-saudara!  


Sebagai penikmat puisi, Chairil Anwar belum tergeser. Dia tetap nomor satu!


Dan, terakhir, entah dari mana saya mengenalnya. Saya ingat, dulu saya begitu penasaran dengan novel Pacar Merah yang bertengger di rak buku Togamas malang. Saya membelinya, belum juga dibaca, sudah duluan dibarter oleh mpok Istanti dengan buku The Second sex-nya Simone de Beauvoir. Hm...bukan dibarter sebenarnya, tapi jamninan. Sebab sudah lama bukunya saya pinjam tak kunjung dikembalikan.
 
Si Pacar merah itu adalah Tan malaka. Saya sedang berkenalan dengannya, mengenalnya lewat karyanya, Dari Penjara ke Penjara. Baru beberapa bab saya baca, tapi saya dapat merasakan semangat juang yang dikobarkannya dari dalam kubur sana. 

Bagi saya, ia sosok binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Ia pahlawan, yang terbuang dari sejarah. 

Kalau kamu, siapa pahlawanmu?
 

Tuesday, 8 November 2016

tertuduh

pict from here


Saya cuek, bukan berarti sama sekali tidak peduli. Saya cuek, bukan berarti sama sekali tidak peka. Saya ceplas-ceplos, bukan berarti sama sekali tidak menghargai perasaan orang lain. Ada saat di mana saya bisa begitu sensitif, meski hanya karena hal-hal yang kamu anggap kecil dan sepeleh. 

Setiap orang punya batas, tembok yang membentengi dirinya dari orang lain. Membentengi dari teman atau mantan. 

Dari seorang sahabat terbaik, saya belajar satu hal. Ia tipe orang yang tidak suka punya banyak koleksi/barang. Satu, dua, cukup. Jika rusak, tidak segera ia buang, lalu membeli yang baru. ia akan memperbaiki benda tersebut, lalu dipakai lagi. ia akan membuangnya jika memang sudah benar-benar tak dapat diperbaiki.  

Dalam bergaul, saya menerapkan filosofi teman saya tadi. Saya senang membangun jembatan dengan orang lain, dan akan menjaganya baik-baik. Satu kesalahan kecil, tentu dimaafkan. Dilukai sekali, tak mengapa. Toh, sudah tentu, dalam suatu hubungan pertengkaran selalu ada. Ia semacam bumbu yang menyedapkan.

Namun, segala sesuatu ada batasnya. Jika batas sudah diseberangi, dan hubungan tak sanggup lagi dipertahankan, mungkin sudah saatnya kita bakar saja jembatan yang menghubungkan kita.  

Kamu boleh menertawai saya di belakang, atau memaki di hadapan saya. Tapi menuduh? Saya tidak suka itu. Apalagi jika jelas-jelas saya tidak pernah melakukan itu.

Seumur-umur main facebook, seorang teman sesama PKL, saat mahasiswa dulu, terpaksa saya block. Sebab ia menuduh saya untuk hal yang, ah... sudahlah. 

Bagi saya, ketika kamu menuduh seseorang, itu artinya kamu sedang meragukan ia. Mungkin bukan meragukan, lebih tepatnya tak menaruh kepercayaan. Mana mungkin kamu percaya padanya, jika kamu yakin ia melakukan hal yang tak dilakukannya. 

Baru-baru ini hal itu kembali terjadi. Seorang menuduh saya, saya bahkan tak pernah bermimpi dan berkhayal tentang hal seperti itu. Apa yang saya lakukan? saya tidak memblock dia di jejaring medsos. Kekanakan sekali. 

Sebab kami dekat, tentu saya maafkan. Tapi, saya rasa semua tak lagi sama. Mungkin ini cobaan. Entah Menjauhkan, atau justru mengeratkan...     


 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...