Wednesday, 29 February 2012
Sunday, 26 February 2012
Hapus make up-mu!
trims cada, gambarnya aku pinjam |
Bedak putih tebal
Sedikit blush on merah di
sekitar tulang pipi
Untuk lipstiknya, pink saja.
Biar terlihat natural
Tak lupa pakai maskara;
Hm, aku baru tahu kalo itu bulu
Mata dikeriting
Wajahmu cantik, sayang
:Sempurna dengan segala make up
Aku penasaran,
Seperti apatah rona kulit di sebalik topengmu, sayang
Tuesday, 21 February 2012
cerita yang sekarat
Cerita kita terlalu
sekarat, kasih
Kisah ini slalu
susah payah kau hapus alurnya.
Tak bisakah kau
mengenangnya?
Kau boleh meniadakan
aku
Tapi tolong, jangan
cerita ini
Tahayad Panggil Pulang
Ingin ke
mana?
Kalau sedang
diam di tempatmu, kamu mungkin ingin pergi ke suatu tempat yang mungkin belum
pernah kau lihat, kunjungi. Mungkin juga ke suatu tempat yang mungkin pernah
kau kunjungi. Dan kau ingin mengulang kenangan.
Tapi
bagaimana kalau kau sedang pergi, berjarak dari tempatmu? Apakah kau ingin
terus pergi lagi?
Ingin ke
mana?
Aku tidak
ingin pulang saat ini. Tapi aku ingin kembali, mengunjungi tempat yang selalu
jadi rumah untukku. Rumahku adalah Tahayad, orang-orang kadang menyebutnya
Tayando. Tempat leluhurku dilahirkan.
Kepulauan
kecil jauh di timur sana. Termasuk dalam teritorial Kota Tual, Maluku. Aku
tidak dilahirkan di Tahayad, juga tidak di besarkan di sana. Aku lahir dan
besar di Tual, beberapa jam perjalanan laut dari Tahayad. Sejak berumur 10
tahun bersekolah di pulau Jawa.
Meskipun
begitu, tubuhku mengalir pasir dan laut tanah Tahayad.
Tahayad, ada
tiga kampung; Yamru, El, dan Yamtel. Yamru dan El bertetangga dalam satu pulau,
sedang Yamtel di pulau terpisah. Ayahku berasal dari Yamru, sedang mama dari
Yamtel. Kami sekeluarga, jarang pulang kampung. Seingatku, hanya beberapa kali
kami pulang. Saat liburan panjang waktu TK dan Kerusuhan Maluku tahun 98-99.
aku masih duduk di bangku kelas dua SD.
Tahun 98,
peperangan melanda Maluku. Peperangn atas nama agama. Mulanya hanya di Ambon,
tapi merambat ke daerah-daerah seberang, Tual salah satunya.
Saat-saat
genting seperti itu, kamu akhirnya mengungsi, oh bukan, kami akhirnya pulang ke
Tahayad. Rumah leluhur yang selalu terbuka. Rumah yang selalu memberi keteduhan
saat kamu merasa resah, tak nyaman. Di sini, semua penduduk asli beragama
islam, begitu pula pendatang yang hanya seberapa. Aku bebas bermain di luar
rumah tiap hari. Tanpa perlu takut diserang tiba-tiba. Setiap malam aku bisa
tidur nyenyak. Tanpa harus menyelipkan pisau di bawah kasur atau bantal;
khawatir jika ada musuh yang datang. Peperangan yang tak jelas sebabnya,
berhasil membuat orang jadi paranoid kala itu.
Tahayad, di
atas pasir putih yang membentang, di sela-sela pepohonan kelapa, di bawah
sengat sinar mentari, dan belaian angin pantai, aku mendengar ombak membisikkan
pesan damai.
Bulan dan Bintang
Dalam
kenangan masa kecilku, Tahayad pulau yang lumayan luas. Akan tetapi, pemukiman
hanya dibangun di tepi pantai, di atas pepasiran putih. Dengan rumah-rumah
menghadap laut. Para lelaki tiap malam pergi melaut, menjaring ikan. Sedang
perempuan di rumah menyiapkan ambal babuhuk -makanan
pokok dari olahan singkong- yang masih hangat. Nantinya dimakan dengan ikan
yang baru saja ditangkap. Aku selalu yakin dan bangga menyanyikan: nenek
moyangku seorang pelaut…
Tidak banyak
kenangan yang aku punya, kecuali masa kerusuhan itu. Ada hikmahnya juga,
setidaknya aku bisa sedikit lebih lama menetap di Tahayad.
Seingatku,
jangkauan PLN belum mencapai kampung. Rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak
atau lampu gas. Hanya saudagar atau orang-orang bugis pedagang yang punya
listrik di rumahnya. Aku ingat, di depan rumah tete
--kakek-- di Yamtel ada rumah keluarga bugis, almarhum Haji Halim. Di
rumahnya ada lampu menyala, ada televisi dilengkapi parabola yang selalu
dinyalakan tiap malam. Biasanya dibawa ke teras toko mereka, orang-orang
kampung sering nonton bareng di jalan antara rumah mereka dan rumah tete. Oh ya, di kampung, tidak ada rumah
berpagar, apalagi pagar tinggi dari beton atau besi seperti rumah-rumah di
kota.
Meski tak ada
listrik, bukan berarti kampung jadi gelap gulita. Aku tahu, karena pasir yang
aku pijak masih berwarna putih, memantulkan sinar bulan dan bintang di atas
langit sana. Ya, bulan dan bintang. Begitu dekat, begitu terang. Sesuatu yang
sudah lama terlupa. Saat sendirian dalam gelap, di jalan depan kos waktu mati
lampu bergilir, aku kembali melihat bulan begitu dekat. Dan aku merasa seperti
terbawa kembali ke sebuah dimensi ruang dan waktu; Tahayad.
Arisan Anak
Tak ada
listrik, tak ada saluran telepon, dan juga tak ada toilet!
Haha, tapi
itu bukan masalah, sus. Karena bagiku yang saat itu masih kecil, semuanya
selalu menyenangkan. Acara buang hajat bisa jadi arisan yang menyenangkan.
Pernah
ngobrol sama teman waktu lagi -maaf- pup? Dulu sih sering. Seusai subuh, para
sepupuku biasanya datang mengetuk jendela kamar dan membangunkanku agar ke
pantai bersama. Mengajak pergi melakukan hajat besar yang sudah ditahan sejak
semalam. Saat pagi, air laut masih surut, dan kami, gerombolan anak-anak kecil
berjalan mencari ceruk-ceruk air di tengah laut yang sedang surut. Duduk
melingkar dan hmmm, buang hajat sambil gantian menceritakan mimpi tadi malam.
Kadang-kadang juga mengatur rencana strategi permainan di siang hari nanti.
Seru dah.
Seusai buang
hajat, biasanya kami tidak langsung pulang, tapi bermain-main dulu. Mencari
ubur-ubur dan bia atau kut yau -kerang- untuk main masak-masakan.
Kalau laut
sedang pasang, lebih gampang lagi kalau mau buang hajat. Dulu, keramba omku ada
yang sengaja dipasang hanya beberapa meter dari pantai, airnya tidak seberapa
tinggi. Kami, ponakan-ponakan usil, sering duduk di tepiannya. Tentu saja
sedang buang hajat. Sambil mengamati ikan-ikan pada berebutan kotoran kami,
lantas tertawa terbahak-bahak. Senang rasanya bisa mengerjai ikan-ikan itu.
Lalu saat makan siang, kami mungkin saja tidak tahu, kalau ikan bakar di atas
nasi kami diambil dari keramba milik om.
Love you, Nene
Nene -nenek-, hanya ada dalam kenanganku.
Sebab sejak pasca kerusuhan aku selalu tidak punya kesempatan untuk bertemu nene Kam, ibu ayahku, hingga akhir hayatnya.
Waktu dan jarak memisahkan. Dan kematian memperjelasnya. Aku tidak sempat
melihat untuk terakhir kali. Aku tidak pernah bilang aku sayang nene. Aku belum bisa membelikan tembakau untuk
nyirih. Aku belum bisa membelikannya kebaya baru. Namun, aku selalu
mengingatnya, sebagai nene tersayang. Al
Fatihah buat nene…
Dari Yamtel,
aku dipindahkan ke Yamru. Dijemput ayah dan diantarkan sepupu-sepupuku. Kami
naik sampan bersama-sama.
Di Yamru, aku
tinggal berdua dengan nene. Suasana di
Tual mulai membaik. Mama, adik, dan Ayah sudah lebih dulu ke Tual. Sementara
aku dititipkan pada nene.
Nene sudah tua sekali. Untuk keperluan
sehari-hari, ia menjual kopi tumbuk yang diolah dari biji kopi di ladang. Nenek
punya banyak pohon kelapa. Buahnya yang jatuh dan tua, dipungut nene untuk dibawa pulang. Terkadang bapa
pulang kampung, memanjat kelapa, buahnya kemudian dijadikan kopra untuk bahan
minyak goreng atau mentega. Kalau kopra sudah banyak, diangkut ke tual dan
dijual ke tengkulak.
Kadang, dari
kelapa yang terkumpul, nene menyuruhku
membawa kelapa-kelapa tersebut ke warung-warung untuk ditukarkan dengan jajan
atau mainan. Tak ada uang, barter pun jadi.
Nene selalu ingin membuatku senang dan betah
di kampung. Kalau adik ayahku tidak sempat mengirim hasil tangkapan ikan
kerumah, nene mengajakku ke pantai saat
air pasang. Menggali-gali pasir mencari bia-bia
kecil yang tersembunyi. Aku suka menggali-gali pasir. Aku suka bia yang
direbus nene. Meski cuma digarami dan
diberi sedikit bawang merah dan bawang putih, bia-nya
lezat sekali. Apa lagi dimakan
dengan nasi yang masih hangat, Hmmm, slurrrp.
Entah kapan
aku bisa kembali…
Saturday, 18 February 2012
Laskar hijau lagi
cat: makasih ya mas Hendri, udah mau jadi juru foto selama perjalanan...
(akhirnya bisa muncul juga. mau unggah foto ajah susah banget, galat mulu)
Tuesday, 14 February 2012
(ingin) Mengarang takdir
Apa ini
yang disebut takdir?
Inikah
nasib?
Detik ini
ia mempertemukan kita
Membuat
kita bersitatap penuh mesra
Senyum
merekah di balik bibir. Malu-
Malu
Lalu
detik berikutnya kita memunggungi satu
Sama lain
Berjauhan.
Hah,,
Aku
(ingin) tidak percaya
Tak
bisakah takdir berdamai dengan mimpi kita
Mengarang
alur nasib yang sama
Menciptakan
cerita serupa putri salju,
Cinderella
(bagian sedihnya kita coret saja)
Mari kita
buat ending yang…
Happily
ever after!
Bahagia
selamanya!
Monday, 13 February 2012
menjadi bintang
Televisi,
sadar atau tidak, telah menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari. Lengkap
dengan kehidupan para bintang yang gencar dipertontonkan. Entah karena
kebutuhan akan keinginantahuan penonton, atau niat baik pengusaha infotainment
untuk memenuhi pasar. Jangan-jangan malah karena penonton yang tidak punya
pilihan selain menonton apa yang ada.
Menjadi
bintang, tampil di layar kaca, dan terkenal seperti para bintang sudah menjadi
cita-cita. Sejak anak masih kecil sampai orang dewasa. Pencarian bakat gaya
baru lewat ajang talent show kemudian menjamur, peserta membludak.
Rupanya sangat banyak yang ingin terkenal. Beberapa memilih mengunggah lewat
situs sepert Youtube sebagai batu loncatan. Udin sedunia contohnya, atau
eks Briptu Norman.
Iklan-iklan
saat ini pun banyak menggunakan selebriti (selebrity endorser). iklan
sampo Pantene, misalnya, memakai Anggun C. Sasmi sebagai model, Atiqah
Hasiholan untuk sabun LUX, dan Dain sastro untuk L’Oreal.
Dalam
pengamatan penulis, ada hal yang berbeda dengan iklan susu untuk balita seperti
Dancow, SGM, dan Bebelac. Dancow dan Bebelac memiliki pola yang hampir sama,
sama-sama menggambarkan masa depan bintang cilik yang cerah di atas panggung hiburan.
Sedangkan SGM memilih memakai artis terkenal seperti Mira Lesmana dan Sarah
Sehan, iklan dikembangkan dengan teknik menceritakan masa kecil artis
biasa-biasa saja, hingga menjadi luar biasa setelah ibu si artis memberinya susu SGM. Satu poin
yang saya tangkap: para ibu sebaiknya membelikan susu tersebut untuk si buah
hati, kelak anak anda juga akan menjadi bintang seperti mereka.
Tanda-tanda dalam Iklan
Menggunakan
model analisis tanda yang diperkenakan oleh Charles Sanders Pierce yaitu ikon,
indeks, dan simbol, penulis menganalisis dua iklan serial Bebestar yaitu iklan
coming soon dan t-shirt prom dari Bebelac:everyone is a star.
Ikon
adalah penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya, indeks adalah penanda yang
mengisyaratkan jejak petandanya, dan simbol adalah penanda yang lazim digunakan
dalam konvensi masyarakat.
Iklan
Bebestar T-Shirt Promo
Seorang
lelaki bertubuh gempal naik ketas panggung yang masih sepi, merendahkan tiang
mic yang tinggi untuk ukuran dewas menjada lebih pendek sehingga lebih pas
untuk dipakai anak-anak. Setelah itu ia meninggalkan panggung. Dari tengah
panggung, banner berwarna orange bertuliskan; Bebestar dengan tagline everyone is a star
turun perlahan-lahan dari langit-langit
panggung. Satu per satu anak naik menepati posisi drummer, vokalis, basis lalu
gitaris, yang sepertinya kesusahan naik sehingga lelaki dewasa tadi kembali
naik panggunng dari arah berlawanan lalu menaikkannya.
Iklan
Coming Soon.
Para
bintang turun dari mobil kuning; berstiker bebestar besar sehingga bisa dibaca
dari jauh sekalipun. Bintang-bintang cilik tersebut lantas berjalan di atas
karpet merah ke atas panggung. Terdengar suara penonton mengelu-elukan, tangan
terulur hendak meraih sang bintang.
Bintang
cilik perempuan dengan bandana berbentuk pita besar di atas kepalanya, lantas
membalas sapaan para fans dengan balik memberikan cium jauh; jemari kedua
tangan menyentuh bibir yang mencucu seperti ekspresi orang hendak mencium lalu
tangan melebar, seperti menebar ciuman pada penonton.
Selain itu
juga ada anak lelaki mengenakan jas dan bertopi lebar, berjalan dengan kedua
tangan memeragakan simbol metal; menunjukkan jari ibu, telunjuk, dan
kelingking, sementara jari tengah dan manis ditekuk.
Bocah
lelaki lainnya memakai jacket hitam dipadi kaos putih dan topi hitam yang di
balik ke belakang, bergaya santai ala rapper. Ia
berjingkat-jingkat mengayun tangan ke atas menyapa penggemar.
Sementara
itu, anak lelaki berambut keriting, baju ungu dan syal bulu ungu muda
menghampiri penonton dan memberikan tanda tangan. Sedangkan bocah perempuan
keriting, bergaun putih, sedang melayani wartawati yang mewawancarainya sambil
berjongkok.
Kedua
iklan ini merepresentasikan makna berbeda, tapi masih dalam payung yang
sama. Tentang menjadi bintang. Iklan
t-shirt promo menunjukkan bahwa, mejadi bintang televisi bukan dominasi orang
dewasa saja. ini ditunjukkan dengan simbol tiang mik yang dipendekkan.
Anak-anak juga bisa menjadi bintang dengan sedikit dorongan dan bantuan orang
dewasa. Terlihat dari orang dewasa yang memperbaiki mik serta membantu seorang
personil band untuk naik ke atas panggung.
Tata
panggung yang minimalis, tidak banyak hiasan dan berlatar belakang gelap,
menjadikan para model dan peralatan band mereka sebagai titik fokus, didukung
dengan pencahayaan yang tepat menyorot keempat model tersebut.
Iklan
ini mempertontonkan bagaimana seorang bintang menikmati pekerjaanya di atas
panggung. Melompat-lompat kegirangan saat bernyanyi, bahagia dengan pekerjaan
yang sedang dilakoni.
Sedangkan
iklan coming soon, lebih memperlihatkan kebahagian yang datang dari hasil kerja
keras sebagai bintang yaitu pemujaan fans. Disorot kamera, berjalan di atas
panggung yang terang benderang karena penataan cahaya yang wah dan glamour.
Menikmati kedekatan dengan fans yang meminta tandatangan, atau diliput media
massa. Wajah para bintang cilik yang tersenyum lebar, menandakan kepuasan akan
jerih payah.
Masih
di iklan coming soon, ikon panggung merupakan simbol penjelas identitas bintang
dan penggemar. Ada batas tegas. Yang di atas panggung kedudukannya lebih
tinggi, memiliki kuasa panggung pertujukkan, sedangkan mereka yang dibawah
menonton adalah orang-orang bawah yang dengan eluan mereka menjadikan bintang
semakin bintang.
TV,
Iklan, dan Bintang
Iklan
merupakan salah satu bentuk komunikasi khusus dalam strategi pemasaran, iklan
tidak sekedar memberikan informasi produk tapi juga harus mampu membujuk
khalayak umum untuk membeli. Namun, iklan saat ini tidak sekedar menjual
produk, iklan dikemas begitu rupa sehingga lebih menonjolkan pencitraan.
Bisa
dikatakan iklan sama sekali tidak bebas nilai; apa hubungannya menjadi bintang
dengan minum susu? Bukankah susu merupakan minuman pendamping untuk
penyempurnaan gizi? Apa dengan minum susu lantas anak-anak tersebut langsung
menjadi bintang? Lantas kenapa menjadi bintang yang diangkat Bebelac sebagai
tema? Selanjutnya penulis memadukan analisis kode-kode televisi Jhon Fiske
untuk memahami iklan Bebestar. Teori Fiske memasukkan kode-kode sosial dalam
tiga level; reality, representasi, dan ideologi.
Level
reality dapat dilihat dari anak-anak dengan kostum ala bintang, ada panggung,
pencahayaan, serta penggemar.
Level
representasi ditandai dengan pencahayaan yang terang benderang di iklan coming
soon, suara penggemar yang mengelu-elukan, serta penataan panggung yang
mempertegas identitas kebintangan.
Sementara
ideologi, iklan Bebelac sedang menjual ideologi kelas selebriti, bintang.
Kehidupan mapan, ketenaran, selebriti digadang-gadang sebagai cita-cita yang
harus ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Perlu diingat, peserta bebestar
berumur 3-6 tahun.
Sekilas,
penononton seperti terbius dengan visualisasi iklan yang sama sekali tidak
menunjukkan kegiatan anak kecil mengonsumsi susu, tapi pencitraan iklan
sebenarnya erat kaitannya dengan meminum produk susu yang diiklankan. Jelas
sekali, bintang ciliki mengonsumsi Bebelac. Jika ingin terkenal seperti para
bintang cilik, ikutilah ajang bebestar dan minumlah susu Bebelac.
Bebestar
2011 merupakan ajang pencarian bakat anak usia 3-6 tahun meliputi kemampuan
bernyanyi, menari, bermain musik, atau gabungan ketiganya. Audisi dilakukan di
25 kota besar di Indonesia, seperti, Manado, Makassar, Lampung, dan lainnya,
para semifinalis akan diberi kesempatan untuk kembali tampil di tigabelas kota,
sedangkan final acara ini sendiri akan diselenggarakan di Jakarta pada akhir
tahun 2011 kelak.
Bebestar
bukan ajang pencarian bakat pertama yang ada di Indonesia, sebelumnya pernah
ada Akademi Fantasi Indonesia (AFI), ajang pencarian bakat bernyanyi yang di
tayangkan di Indosiar. Indonesian Idol, di RCTI, dan Kontes Dangdut Indonesia
(AFI) di TPI keduanya jjuga merupakana ajang bakat bernyanyi. Sementara program
Indonesia Mencari Bakat (IMB) yang disiarkan di Tans TV pada 2010 lalu
merupakan talent show pertama yang mewadahi lebih dari sekedar
bakat bernyanyi. Di sini peserta bisa memamerkan bakat berupa bernyanyi,
bermusik, menari, atau gabungan ketiganya. Berbeda dari ketiga ajang sebelumnya membatasi umur
peserta, hanya untuk remaja dan dewasa awal, IMB lebih fleksibel, anak-anak,
remaja, dewasa, dan lanjut usia pun boleh bertarung disini. Mau berkelompok
atau individu pun sah-sah saja.
Ada
beragam bakat yang dimiliki manusia, namun dari sekian pencarian bakat di atas,
semuanya menginginkan bakat yang dapat dipertontonkan serta dinikmati semua
kalangan. Bernyanyi, menari, dan bermain musik. Bakat yang bisa menghibur orang
lain. talenta menjual lewat layar televisi.
Televisi
sebagai salah satu media komunikasi massa berbasis elektronik menjalankan
fungsi komunikasi berupa menginformasikan, mendidik, menghibur, serta
memengaruhi. Televisi juga mengusung tujuan komunikasi yaitu mengubah sikap,
opini, perilaku, dan masyarakat (El Karimah dan Uud, 2010:34)
Berdasarkan
survei Komisi Penyiaran Indonesia, tayangan televis 70% menjalankan tugas
menghibur dibanding mendidik dan menginformasi masyarakat
(http://www.kpi.go.id). Setiap hari masyarkat disuguhi tayangan seperti
sinetron, film, italk show, berita infotainment, realityshow,
kuis, komedi, dan tak ketinggalan iklan.
Konsekuensi
logis dari jumlah tayangan hiburan yang beragam adalah melibatkan
artis/penyanyi/selebritis yang kemudian dalam tulisan ini dipahami sebaga
bintang (hiburan). Bintang-bintang ini hadir setiap saat di layar kaca lewat karakter
yang diperankan dalam film atau sinetron, menjual kisah hidup di infotainment
yang jam tayangnya nyaris seperti orang minum obat, tiga kali sehari; pagi,
siang, dan sore. Para bintang saat ini juga marak terkenal sebagai bintang
iklan (endorser). Akhirnya, para bintang tidak hanya sekedar pekerja
hiburan, tapi juga menjadi public figure bagi masyarakat.
Danesi
(2010) berpendapat penokohan selebriti yang diciptakan televisi merupakan efek
mitologisasi. Selebriti, merupakan mitos, tapi kehidupan mereka begitu dekat
dengan penonton. Begitu nyata melampaui kenyataan.
Bagaimana
tidak, kehidupan bintang disorot sedemikian rupa, sejak bangun tidur,berangkat
syuting, hingga kembali ke rumah. Cerita asmara, rumah tangga, hobi, gaya
hidup, serta seabrek aktivitas di luar keartisan menjadi layak untuk
diberitakan. Ruang privat sudah tak lagi tabu dipertontonkan kepada khalayak.
Hal
yang sangat mengahawatirkan adalah pencitraan bintang sukses ditandai dengan
kepemilikan barang mewah yang berlimpah. Mobil, rumah atau minimal apartmen,
baju bermerk, aksesoris mahal, hobi mengoleksi barang mewah seperti mobil,
motor, parfum, karakter animasi, dan masih banyak lagi. Anugrah menjadi bintang
lebih menjadi lebih menarik, mungkin juga diam-diam menjadi hal yang
dicita-citakan ketimbang usaha sang bintang mencapai popularitas.
Masyarakat
yang menonton tayangan-tayangan tersebut mungkin akan menerima semua informasi
yang diterimanya sebagai sebuah pengetahuan tentang kehidupan bintang; hidup
bergelimang kemewahan, kemudahan, dupuja fans. Masayrakat gagap literacy
televisi mungkin tidak tahu jika tayangan yang ditontonnya hanyalah apa yang
disebut Baudrilard sebagai simulacrum. Penampilan selebriti depan layar
kaca mengandung pencitraan, bagaiman ia ingin atau dituntut menjadi figur
tertentu.
Contoh
nyata terligat saat bulan ramadahan, semua artis berlomba tampil lewat publisitas
amal merek. Menyantuni anak yatim, buka bersama anak jalanan, mengikuti
pengajian. Yang paling tren sepertinya berbusana “islami”. Perempuan mengenakan
kerudung atau pakaian tertutup. Entah itu sebagai presenter, menyanyi, atau
keseharian di rumah. Sinetron juga tak kalah latah mengikuti euforia ramadaha
dengan menyajikan sinetro-sinetron yang mereka sebut religi. Setalah lebaran,
semua atribut kesaalehan ditanggalkan dan kembali lagi seperti semula.
Mengikuti gaya
atau tren selebriti menjadi sebuah pertanyaan besar, sebab yang ditiru
bukanlah yang “asli”. Lalu disebut apa peniruan yang dilakukan para penoton
atau fans?
Inilah
yang sedang ditanamkan kepada anak-anak lewat propoganda “Bebelac: everyone is
a star.” Kita sedang dibombardir televisi dengan beragam informasi dalam simpul
makna dan tanda yang berkelindan yang terus bergerak seolah tak memberi kita
ruang untuk memprosesnya dalam otak, seolah tak ada pilihan. Tapi tentu saja
sebagai penonton, kita juga punya pilihan. Dan pilihannya, menurut Baudrillard
(2007: 283) “penolakan pada makna adalah satu-satunya resistensi yang mungkin
di masyarakat kita yang menderita karena melimpah ruahnya informasi.”
Khalayak
harus melek media (media literacy), sebab media, menurut Safrina Noorman
(Prabasmoro, 2003: 22) merupakan konstruksi atas ideologi dan kepentingan
tertentu, dan yang jelas media dibuat untuk kepentingan berupa memperoleh
keuntungan atau kekuasaan tertentu. Bebelac lewat iklannya sedang
mempryokesikan masa depan anak, mengarahkannya pada ideologi kehidupan glamor
kebintangan.
Jadi,
pikirkan kembali untuk menyalakan TV anda!
Monday, 6 February 2012
Jilbab Dalam Cermin
Berdiri
mematut diri depan cermin. Menatap penuh selidik pada sosok yang menyerupaiku
di seberang sana. Hei! Helo? Siapakah kau? Lihat, dari ujung kaki sampai naik
ke ujung kepala kita benar-benar sama! Apakah kita kembar?
Hmm…
oke. Aku harus memastikan siapa kau sebenarnya. Ada beberapa pertanyaan yang
akan kuajukan. Tapi santai saja, ini bukan interogasi di kantor polisi. Silakan
jujur sejujur-jujurnya jujur. Tak perlu takut salah. Karena tidak akan
mengurangi nilai. Ah, ya. Tidak ada penilaian di sini.
Nah.
Apa kau sudah siap? Apa? Oh, tentu. Kau pasti kaget, butuh waktu untuk mencerna
sebentar. Dan butuh jeda untuk bernapas. Maaf, aku agak tergesa kalau sedang
bicara.
Hmm,
bagaimana? Kau siap? Oke. Kita mulai.
(+)catatan=
a adalah aku
b
adalah beta
a:
Aku akan mulai dari atas. Hm, jangan tersinggung. Apa itu yang menutupi
kepalamu?
b:
Oh. Tak apa. Ini kerudung.
a:
Kau botak?
b:
*menggeleng*
a:
Gak punya kuping?
b:
*menggeleng lagi*
a: Terus?
b:
Sekarang sedang tren di kalangan perempuan di negriku.
a:
Seperti itu rupanya. Haha. Lantas, apa kau memakainya karena mengikuti tren?
b:
Hehe. Tidak seperti itu. Beta sudah memakainya sejak umur 10 tahun. Kelas 1
SMP.
a:
Wow. Muda sekali. Kau nyaman? Aku saja yang melihatnya, merasa ribet dan..
b:
Gerah?
a:
Ya. Kau tahu… jadi, apa alasanmu menutupi kepala, rambutmu dengan sehelai kain
seperti itu?
b:
Orangtua memintaku memakainya. Sekolahku mewajibkannya. Semua perempuan dalam
keluargaku mulai memakai kerudung saat beranjak remaja.
a:
Kenapa?
b:
Agamaku, islam, memerintahkan perempuan islam agar menutup kepalanya,
rambutnya, sampai ke dada. Inilah identitas perempuan muslim. Agar mereka
merasa aman. Terlindungi dari pandangan -bahkan perbuatan yang tak sepantasnya.
a:
Kau merasa aman dan nyaman?
b:
Biasa saja. Tapi setidaknya beta bisa menyembunyikan rambut yang kusut. Hehe.
Beta malas menyisir.
a:
Sekarang kau sudah tak bersekolah di sana lagi. Orang tua juga tidak melihatmu.
Kau di kota ini. Dan mereka di kota lain. Lalu?
b:
Sampai SMA pun beta tetap memakainya, sekolahku lagi-lagi mewajibkan para siswi
berjilbab. Kuliah juga begitu. Beta rasa, lama-lama beta terbiasa dengan dengan
ini *membelai jilbab*
a:
I see. Terbiasa.
b:
Guruku bilang jilbab ini semacam remote tubuh. Yang jadi pengontrol.
a:
Maksudnya?
b:
Pengontrol diriku. Biar tidak berbuat di luar jalur. Gak nglakuin yang
tidak-tidak. Jadi, kalo aku mau berbuat jahat, kayak mencuri, nyopet,
berbohong, cabul, aku mawas diri. Masa orang jilbaban berbuat seperti itu? Apa
pantas?
a: Aha.
b:
Maaf, tadi kamu bilang boleh jujur, kan?
a:
Ah, kau mau mengatakan sesuatu? Bicaralah. Aku mendengarkan.
b:
Hufft.. Sebenarnya. Beta hanya terbiasa. Terbiasa. Beta tidak tahu apa beta
berani melepas jilbab ini. Tapi untuk apa beta melepasnya. Namun, apa gunanya
juga beta memakai ini. Beta…
a:
Kau mau minum?
b:
Tidak. Trims. Sebenarnya beta pikir, beta memakai jilbab ini karena beta ingin
patuh pada orangtuaku.
a:
anak manis…
b:
Ibuku sangat keras masalah menutup aurat. Beta mencintainya. Dan beta akan
melakukan apa yang dimintanya. Itu sepertinya alasan pertama.
a:
Jadi ada yang lain kedua, ketiga dan alasan lainnya dong?
b:
Beta sudah biasa dan tidak siap menerima tanggapan orang-orang melihatku
berbeda. Bayangkan, sejak usia 10 tahun. Sekarang umurku 20 tahun. Separoh masa
hidupku di dunia saat ini, beta terus memakai kain ini.
a:
Bagaimana dengan perintah agamamu tadi?
b:
Banyak orang yang aman dan nyaman tanpa kain ini. Itu sudah cukup jadi bukti
untukku mempertanyakan perintah itu. Mempertanyakan diriku sendiri.
a:
…
b:
Menjadi seorang perempuan islam, haruskah memakai ini? Apakah identitas itu
ditandai dengan hanya selembar kain ini? Identitas sama dengan jilbab. Jilbab
sama dengan identitas.
a:
Kain seperti itu, banyak di jual di pasar, toko, mall. Siapa saja bisa beli dan
memilikinya. Memakainya
b:
Hihi. Kau benar. Yang bukan islam juga bisa. Beta sering melihatnya di
sinetron-sinetron. J-Lo, juga memakainya saat syuting videoklip I'm into You.
Beta
merasa kehilangan arah, pegangan. Terombang-ambing dalam ketidakyakinanku. Beta
belum menemukan jawaban atas soalku; kenapa perempuan islam berjilbab?
Haruskah? Beta sedang merasa sebagai robot. Ada perintah, dan beta
melaksanakan. Itu saja. Beta sedang tidak sungguh-sungguh dengan diriku.
a:
*nyimak*
b:
…
a:
Ada apa?
b:
Beta tak tahu harus berkata apa lagi. Beta akan terus mencari. Beta akan terus
bertanya. Sampai Beta yakin. Beta bosan dalam ketidaktahuanku. Beta bosan
melulu patuh.
a:
Yup. Harus.
b:
Umm. Trims.
a:
Untuk apa?
b:
Tidak menginterogasiku.
a:
...?
b:
Kamu sudah membiarkan beta bercerita banyak. Mengeluarkan semua yang bercokol
di kepala.
a:
Ah, bukan apa-apa. Aku rasa sudah cukup. Kapan-kapan, aku mau tanya-tanya soal
itu *menunjuk baju.*
b:
*meraba-raba baju kaos panjang sepantat. Mencermati.* Apa ada noda?
Subscribe to:
Posts (Atom)