Televisi,
sadar atau tidak, telah menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari. Lengkap
dengan kehidupan para bintang yang gencar dipertontonkan. Entah karena
kebutuhan akan keinginantahuan penonton, atau niat baik pengusaha infotainment
untuk memenuhi pasar. Jangan-jangan malah karena penonton yang tidak punya
pilihan selain menonton apa yang ada.
Menjadi
bintang, tampil di layar kaca, dan terkenal seperti para bintang sudah menjadi
cita-cita. Sejak anak masih kecil sampai orang dewasa. Pencarian bakat gaya
baru lewat ajang talent show kemudian menjamur, peserta membludak.
Rupanya sangat banyak yang ingin terkenal. Beberapa memilih mengunggah lewat
situs sepert Youtube sebagai batu loncatan. Udin sedunia contohnya, atau
eks Briptu Norman.
Iklan-iklan
saat ini pun banyak menggunakan selebriti (selebrity endorser). iklan
sampo Pantene, misalnya, memakai Anggun C. Sasmi sebagai model, Atiqah
Hasiholan untuk sabun LUX, dan Dain sastro untuk L’Oreal.
Dalam
pengamatan penulis, ada hal yang berbeda dengan iklan susu untuk balita seperti
Dancow, SGM, dan Bebelac. Dancow dan Bebelac memiliki pola yang hampir sama,
sama-sama menggambarkan masa depan bintang cilik yang cerah di atas panggung hiburan.
Sedangkan SGM memilih memakai artis terkenal seperti Mira Lesmana dan Sarah
Sehan, iklan dikembangkan dengan teknik menceritakan masa kecil artis
biasa-biasa saja, hingga menjadi luar biasa setelah ibu si artis memberinya susu SGM. Satu poin
yang saya tangkap: para ibu sebaiknya membelikan susu tersebut untuk si buah
hati, kelak anak anda juga akan menjadi bintang seperti mereka.
Tanda-tanda dalam Iklan
Menggunakan
model analisis tanda yang diperkenakan oleh Charles Sanders Pierce yaitu ikon,
indeks, dan simbol, penulis menganalisis dua iklan serial Bebestar yaitu iklan
coming soon dan t-shirt prom dari Bebelac:everyone is a star.
Ikon
adalah penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya, indeks adalah penanda yang
mengisyaratkan jejak petandanya, dan simbol adalah penanda yang lazim digunakan
dalam konvensi masyarakat.
Iklan
Bebestar T-Shirt Promo
Seorang
lelaki bertubuh gempal naik ketas panggung yang masih sepi, merendahkan tiang
mic yang tinggi untuk ukuran dewas menjada lebih pendek sehingga lebih pas
untuk dipakai anak-anak. Setelah itu ia meninggalkan panggung. Dari tengah
panggung, banner berwarna orange bertuliskan; Bebestar dengan tagline everyone is a star
turun perlahan-lahan dari langit-langit
panggung. Satu per satu anak naik menepati posisi drummer, vokalis, basis lalu
gitaris, yang sepertinya kesusahan naik sehingga lelaki dewasa tadi kembali
naik panggunng dari arah berlawanan lalu menaikkannya.
Iklan
Coming Soon.
Para
bintang turun dari mobil kuning; berstiker bebestar besar sehingga bisa dibaca
dari jauh sekalipun. Bintang-bintang cilik tersebut lantas berjalan di atas
karpet merah ke atas panggung. Terdengar suara penonton mengelu-elukan, tangan
terulur hendak meraih sang bintang.
Bintang
cilik perempuan dengan bandana berbentuk pita besar di atas kepalanya, lantas
membalas sapaan para fans dengan balik memberikan cium jauh; jemari kedua
tangan menyentuh bibir yang mencucu seperti ekspresi orang hendak mencium lalu
tangan melebar, seperti menebar ciuman pada penonton.
Selain itu
juga ada anak lelaki mengenakan jas dan bertopi lebar, berjalan dengan kedua
tangan memeragakan simbol metal; menunjukkan jari ibu, telunjuk, dan
kelingking, sementara jari tengah dan manis ditekuk.
Bocah
lelaki lainnya memakai jacket hitam dipadi kaos putih dan topi hitam yang di
balik ke belakang, bergaya santai ala rapper. Ia
berjingkat-jingkat mengayun tangan ke atas menyapa penggemar.
Sementara
itu, anak lelaki berambut keriting, baju ungu dan syal bulu ungu muda
menghampiri penonton dan memberikan tanda tangan. Sedangkan bocah perempuan
keriting, bergaun putih, sedang melayani wartawati yang mewawancarainya sambil
berjongkok.
Kedua
iklan ini merepresentasikan makna berbeda, tapi masih dalam payung yang
sama. Tentang menjadi bintang. Iklan
t-shirt promo menunjukkan bahwa, mejadi bintang televisi bukan dominasi orang
dewasa saja. ini ditunjukkan dengan simbol tiang mik yang dipendekkan.
Anak-anak juga bisa menjadi bintang dengan sedikit dorongan dan bantuan orang
dewasa. Terlihat dari orang dewasa yang memperbaiki mik serta membantu seorang
personil band untuk naik ke atas panggung.
Tata
panggung yang minimalis, tidak banyak hiasan dan berlatar belakang gelap,
menjadikan para model dan peralatan band mereka sebagai titik fokus, didukung
dengan pencahayaan yang tepat menyorot keempat model tersebut.
Iklan
ini mempertontonkan bagaimana seorang bintang menikmati pekerjaanya di atas
panggung. Melompat-lompat kegirangan saat bernyanyi, bahagia dengan pekerjaan
yang sedang dilakoni.
Sedangkan
iklan coming soon, lebih memperlihatkan kebahagian yang datang dari hasil kerja
keras sebagai bintang yaitu pemujaan fans. Disorot kamera, berjalan di atas
panggung yang terang benderang karena penataan cahaya yang wah dan glamour.
Menikmati kedekatan dengan fans yang meminta tandatangan, atau diliput media
massa. Wajah para bintang cilik yang tersenyum lebar, menandakan kepuasan akan
jerih payah.
Masih
di iklan coming soon, ikon panggung merupakan simbol penjelas identitas bintang
dan penggemar. Ada batas tegas. Yang di atas panggung kedudukannya lebih
tinggi, memiliki kuasa panggung pertujukkan, sedangkan mereka yang dibawah
menonton adalah orang-orang bawah yang dengan eluan mereka menjadikan bintang
semakin bintang.
TV,
Iklan, dan Bintang
Iklan
merupakan salah satu bentuk komunikasi khusus dalam strategi pemasaran, iklan
tidak sekedar memberikan informasi produk tapi juga harus mampu membujuk
khalayak umum untuk membeli. Namun, iklan saat ini tidak sekedar menjual
produk, iklan dikemas begitu rupa sehingga lebih menonjolkan pencitraan.
Bisa
dikatakan iklan sama sekali tidak bebas nilai; apa hubungannya menjadi bintang
dengan minum susu? Bukankah susu merupakan minuman pendamping untuk
penyempurnaan gizi? Apa dengan minum susu lantas anak-anak tersebut langsung
menjadi bintang? Lantas kenapa menjadi bintang yang diangkat Bebelac sebagai
tema? Selanjutnya penulis memadukan analisis kode-kode televisi Jhon Fiske
untuk memahami iklan Bebestar. Teori Fiske memasukkan kode-kode sosial dalam
tiga level; reality, representasi, dan ideologi.
Level
reality dapat dilihat dari anak-anak dengan kostum ala bintang, ada panggung,
pencahayaan, serta penggemar.
Level
representasi ditandai dengan pencahayaan yang terang benderang di iklan coming
soon, suara penggemar yang mengelu-elukan, serta penataan panggung yang
mempertegas identitas kebintangan.
Sementara
ideologi, iklan Bebelac sedang menjual ideologi kelas selebriti, bintang.
Kehidupan mapan, ketenaran, selebriti digadang-gadang sebagai cita-cita yang
harus ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Perlu diingat, peserta bebestar
berumur 3-6 tahun.
Sekilas,
penononton seperti terbius dengan visualisasi iklan yang sama sekali tidak
menunjukkan kegiatan anak kecil mengonsumsi susu, tapi pencitraan iklan
sebenarnya erat kaitannya dengan meminum produk susu yang diiklankan. Jelas
sekali, bintang ciliki mengonsumsi Bebelac. Jika ingin terkenal seperti para
bintang cilik, ikutilah ajang bebestar dan minumlah susu Bebelac.
Bebestar
2011 merupakan ajang pencarian bakat anak usia 3-6 tahun meliputi kemampuan
bernyanyi, menari, bermain musik, atau gabungan ketiganya. Audisi dilakukan di
25 kota besar di Indonesia, seperti, Manado, Makassar, Lampung, dan lainnya,
para semifinalis akan diberi kesempatan untuk kembali tampil di tigabelas kota,
sedangkan final acara ini sendiri akan diselenggarakan di Jakarta pada akhir
tahun 2011 kelak.
Bebestar
bukan ajang pencarian bakat pertama yang ada di Indonesia, sebelumnya pernah
ada Akademi Fantasi Indonesia (AFI), ajang pencarian bakat bernyanyi yang di
tayangkan di Indosiar. Indonesian Idol, di RCTI, dan Kontes Dangdut Indonesia
(AFI) di TPI keduanya jjuga merupakana ajang bakat bernyanyi. Sementara program
Indonesia Mencari Bakat (IMB) yang disiarkan di Tans TV pada 2010 lalu
merupakan talent show pertama yang mewadahi lebih dari sekedar
bakat bernyanyi. Di sini peserta bisa memamerkan bakat berupa bernyanyi,
bermusik, menari, atau gabungan ketiganya. Berbeda dari ketiga ajang sebelumnya membatasi umur
peserta, hanya untuk remaja dan dewasa awal, IMB lebih fleksibel, anak-anak,
remaja, dewasa, dan lanjut usia pun boleh bertarung disini. Mau berkelompok
atau individu pun sah-sah saja.
Ada
beragam bakat yang dimiliki manusia, namun dari sekian pencarian bakat di atas,
semuanya menginginkan bakat yang dapat dipertontonkan serta dinikmati semua
kalangan. Bernyanyi, menari, dan bermain musik. Bakat yang bisa menghibur orang
lain. talenta menjual lewat layar televisi.
Televisi
sebagai salah satu media komunikasi massa berbasis elektronik menjalankan
fungsi komunikasi berupa menginformasikan, mendidik, menghibur, serta
memengaruhi. Televisi juga mengusung tujuan komunikasi yaitu mengubah sikap,
opini, perilaku, dan masyarakat (El Karimah dan Uud, 2010:34)
Berdasarkan
survei Komisi Penyiaran Indonesia, tayangan televis 70% menjalankan tugas
menghibur dibanding mendidik dan menginformasi masyarakat
(http://www.kpi.go.id). Setiap hari masyarkat disuguhi tayangan seperti
sinetron, film, italk show, berita infotainment, realityshow,
kuis, komedi, dan tak ketinggalan iklan.
Konsekuensi
logis dari jumlah tayangan hiburan yang beragam adalah melibatkan
artis/penyanyi/selebritis yang kemudian dalam tulisan ini dipahami sebaga
bintang (hiburan). Bintang-bintang ini hadir setiap saat di layar kaca lewat karakter
yang diperankan dalam film atau sinetron, menjual kisah hidup di infotainment
yang jam tayangnya nyaris seperti orang minum obat, tiga kali sehari; pagi,
siang, dan sore. Para bintang saat ini juga marak terkenal sebagai bintang
iklan (endorser). Akhirnya, para bintang tidak hanya sekedar pekerja
hiburan, tapi juga menjadi public figure bagi masyarakat.
Danesi
(2010) berpendapat penokohan selebriti yang diciptakan televisi merupakan efek
mitologisasi. Selebriti, merupakan mitos, tapi kehidupan mereka begitu dekat
dengan penonton. Begitu nyata melampaui kenyataan.
Bagaimana
tidak, kehidupan bintang disorot sedemikian rupa, sejak bangun tidur,berangkat
syuting, hingga kembali ke rumah. Cerita asmara, rumah tangga, hobi, gaya
hidup, serta seabrek aktivitas di luar keartisan menjadi layak untuk
diberitakan. Ruang privat sudah tak lagi tabu dipertontonkan kepada khalayak.
Hal
yang sangat mengahawatirkan adalah pencitraan bintang sukses ditandai dengan
kepemilikan barang mewah yang berlimpah. Mobil, rumah atau minimal apartmen,
baju bermerk, aksesoris mahal, hobi mengoleksi barang mewah seperti mobil,
motor, parfum, karakter animasi, dan masih banyak lagi. Anugrah menjadi bintang
lebih menjadi lebih menarik, mungkin juga diam-diam menjadi hal yang
dicita-citakan ketimbang usaha sang bintang mencapai popularitas.
Masyarakat
yang menonton tayangan-tayangan tersebut mungkin akan menerima semua informasi
yang diterimanya sebagai sebuah pengetahuan tentang kehidupan bintang; hidup
bergelimang kemewahan, kemudahan, dupuja fans. Masayrakat gagap literacy
televisi mungkin tidak tahu jika tayangan yang ditontonnya hanyalah apa yang
disebut Baudrilard sebagai simulacrum. Penampilan selebriti depan layar
kaca mengandung pencitraan, bagaiman ia ingin atau dituntut menjadi figur
tertentu.
Contoh
nyata terligat saat bulan ramadahan, semua artis berlomba tampil lewat publisitas
amal merek. Menyantuni anak yatim, buka bersama anak jalanan, mengikuti
pengajian. Yang paling tren sepertinya berbusana “islami”. Perempuan mengenakan
kerudung atau pakaian tertutup. Entah itu sebagai presenter, menyanyi, atau
keseharian di rumah. Sinetron juga tak kalah latah mengikuti euforia ramadaha
dengan menyajikan sinetro-sinetron yang mereka sebut religi. Setalah lebaran,
semua atribut kesaalehan ditanggalkan dan kembali lagi seperti semula.
Mengikuti gaya
atau tren selebriti menjadi sebuah pertanyaan besar, sebab yang ditiru
bukanlah yang “asli”. Lalu disebut apa peniruan yang dilakukan para penoton
atau fans?
Inilah
yang sedang ditanamkan kepada anak-anak lewat propoganda “Bebelac: everyone is
a star.” Kita sedang dibombardir televisi dengan beragam informasi dalam simpul
makna dan tanda yang berkelindan yang terus bergerak seolah tak memberi kita
ruang untuk memprosesnya dalam otak, seolah tak ada pilihan. Tapi tentu saja
sebagai penonton, kita juga punya pilihan. Dan pilihannya, menurut Baudrillard
(2007: 283) “penolakan pada makna adalah satu-satunya resistensi yang mungkin
di masyarakat kita yang menderita karena melimpah ruahnya informasi.”
Khalayak
harus melek media (media literacy), sebab media, menurut Safrina Noorman
(Prabasmoro, 2003: 22) merupakan konstruksi atas ideologi dan kepentingan
tertentu, dan yang jelas media dibuat untuk kepentingan berupa memperoleh
keuntungan atau kekuasaan tertentu. Bebelac lewat iklannya sedang
mempryokesikan masa depan anak, mengarahkannya pada ideologi kehidupan glamor
kebintangan.
Jadi,
pikirkan kembali untuk menyalakan TV anda!
No comments:
Post a Comment
silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.
komentar akan muncul setelah disetujui.