Ingin ke
mana?
Kalau sedang
diam di tempatmu, kamu mungkin ingin pergi ke suatu tempat yang mungkin belum
pernah kau lihat, kunjungi. Mungkin juga ke suatu tempat yang mungkin pernah
kau kunjungi. Dan kau ingin mengulang kenangan.
Tapi
bagaimana kalau kau sedang pergi, berjarak dari tempatmu? Apakah kau ingin
terus pergi lagi?
Ingin ke
mana?
Aku tidak
ingin pulang saat ini. Tapi aku ingin kembali, mengunjungi tempat yang selalu
jadi rumah untukku. Rumahku adalah Tahayad, orang-orang kadang menyebutnya
Tayando. Tempat leluhurku dilahirkan.
Kepulauan
kecil jauh di timur sana. Termasuk dalam teritorial Kota Tual, Maluku. Aku
tidak dilahirkan di Tahayad, juga tidak di besarkan di sana. Aku lahir dan
besar di Tual, beberapa jam perjalanan laut dari Tahayad. Sejak berumur 10
tahun bersekolah di pulau Jawa.
Meskipun
begitu, tubuhku mengalir pasir dan laut tanah Tahayad.
Tahayad, ada
tiga kampung; Yamru, El, dan Yamtel. Yamru dan El bertetangga dalam satu pulau,
sedang Yamtel di pulau terpisah. Ayahku berasal dari Yamru, sedang mama dari
Yamtel. Kami sekeluarga, jarang pulang kampung. Seingatku, hanya beberapa kali
kami pulang. Saat liburan panjang waktu TK dan Kerusuhan Maluku tahun 98-99.
aku masih duduk di bangku kelas dua SD.
Tahun 98,
peperangan melanda Maluku. Peperangn atas nama agama. Mulanya hanya di Ambon,
tapi merambat ke daerah-daerah seberang, Tual salah satunya.
Saat-saat
genting seperti itu, kamu akhirnya mengungsi, oh bukan, kami akhirnya pulang ke
Tahayad. Rumah leluhur yang selalu terbuka. Rumah yang selalu memberi keteduhan
saat kamu merasa resah, tak nyaman. Di sini, semua penduduk asli beragama
islam, begitu pula pendatang yang hanya seberapa. Aku bebas bermain di luar
rumah tiap hari. Tanpa perlu takut diserang tiba-tiba. Setiap malam aku bisa
tidur nyenyak. Tanpa harus menyelipkan pisau di bawah kasur atau bantal;
khawatir jika ada musuh yang datang. Peperangan yang tak jelas sebabnya,
berhasil membuat orang jadi paranoid kala itu.
Tahayad, di
atas pasir putih yang membentang, di sela-sela pepohonan kelapa, di bawah
sengat sinar mentari, dan belaian angin pantai, aku mendengar ombak membisikkan
pesan damai.
Bulan dan Bintang
Dalam
kenangan masa kecilku, Tahayad pulau yang lumayan luas. Akan tetapi, pemukiman
hanya dibangun di tepi pantai, di atas pepasiran putih. Dengan rumah-rumah
menghadap laut. Para lelaki tiap malam pergi melaut, menjaring ikan. Sedang
perempuan di rumah menyiapkan ambal babuhuk -makanan
pokok dari olahan singkong- yang masih hangat. Nantinya dimakan dengan ikan
yang baru saja ditangkap. Aku selalu yakin dan bangga menyanyikan: nenek
moyangku seorang pelaut…
Tidak banyak
kenangan yang aku punya, kecuali masa kerusuhan itu. Ada hikmahnya juga,
setidaknya aku bisa sedikit lebih lama menetap di Tahayad.
Seingatku,
jangkauan PLN belum mencapai kampung. Rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak
atau lampu gas. Hanya saudagar atau orang-orang bugis pedagang yang punya
listrik di rumahnya. Aku ingat, di depan rumah tete
--kakek-- di Yamtel ada rumah keluarga bugis, almarhum Haji Halim. Di
rumahnya ada lampu menyala, ada televisi dilengkapi parabola yang selalu
dinyalakan tiap malam. Biasanya dibawa ke teras toko mereka, orang-orang
kampung sering nonton bareng di jalan antara rumah mereka dan rumah tete. Oh ya, di kampung, tidak ada rumah
berpagar, apalagi pagar tinggi dari beton atau besi seperti rumah-rumah di
kota.
Meski tak ada
listrik, bukan berarti kampung jadi gelap gulita. Aku tahu, karena pasir yang
aku pijak masih berwarna putih, memantulkan sinar bulan dan bintang di atas
langit sana. Ya, bulan dan bintang. Begitu dekat, begitu terang. Sesuatu yang
sudah lama terlupa. Saat sendirian dalam gelap, di jalan depan kos waktu mati
lampu bergilir, aku kembali melihat bulan begitu dekat. Dan aku merasa seperti
terbawa kembali ke sebuah dimensi ruang dan waktu; Tahayad.
Arisan Anak
Tak ada
listrik, tak ada saluran telepon, dan juga tak ada toilet!
Haha, tapi
itu bukan masalah, sus. Karena bagiku yang saat itu masih kecil, semuanya
selalu menyenangkan. Acara buang hajat bisa jadi arisan yang menyenangkan.
Pernah
ngobrol sama teman waktu lagi -maaf- pup? Dulu sih sering. Seusai subuh, para
sepupuku biasanya datang mengetuk jendela kamar dan membangunkanku agar ke
pantai bersama. Mengajak pergi melakukan hajat besar yang sudah ditahan sejak
semalam. Saat pagi, air laut masih surut, dan kami, gerombolan anak-anak kecil
berjalan mencari ceruk-ceruk air di tengah laut yang sedang surut. Duduk
melingkar dan hmmm, buang hajat sambil gantian menceritakan mimpi tadi malam.
Kadang-kadang juga mengatur rencana strategi permainan di siang hari nanti.
Seru dah.
Seusai buang
hajat, biasanya kami tidak langsung pulang, tapi bermain-main dulu. Mencari
ubur-ubur dan bia atau kut yau -kerang- untuk main masak-masakan.
Kalau laut
sedang pasang, lebih gampang lagi kalau mau buang hajat. Dulu, keramba omku ada
yang sengaja dipasang hanya beberapa meter dari pantai, airnya tidak seberapa
tinggi. Kami, ponakan-ponakan usil, sering duduk di tepiannya. Tentu saja
sedang buang hajat. Sambil mengamati ikan-ikan pada berebutan kotoran kami,
lantas tertawa terbahak-bahak. Senang rasanya bisa mengerjai ikan-ikan itu.
Lalu saat makan siang, kami mungkin saja tidak tahu, kalau ikan bakar di atas
nasi kami diambil dari keramba milik om.
Love you, Nene
Nene -nenek-, hanya ada dalam kenanganku.
Sebab sejak pasca kerusuhan aku selalu tidak punya kesempatan untuk bertemu nene Kam, ibu ayahku, hingga akhir hayatnya.
Waktu dan jarak memisahkan. Dan kematian memperjelasnya. Aku tidak sempat
melihat untuk terakhir kali. Aku tidak pernah bilang aku sayang nene. Aku belum bisa membelikan tembakau untuk
nyirih. Aku belum bisa membelikannya kebaya baru. Namun, aku selalu
mengingatnya, sebagai nene tersayang. Al
Fatihah buat nene…
Dari Yamtel,
aku dipindahkan ke Yamru. Dijemput ayah dan diantarkan sepupu-sepupuku. Kami
naik sampan bersama-sama.
Di Yamru, aku
tinggal berdua dengan nene. Suasana di
Tual mulai membaik. Mama, adik, dan Ayah sudah lebih dulu ke Tual. Sementara
aku dititipkan pada nene.
Nene sudah tua sekali. Untuk keperluan
sehari-hari, ia menjual kopi tumbuk yang diolah dari biji kopi di ladang. Nenek
punya banyak pohon kelapa. Buahnya yang jatuh dan tua, dipungut nene untuk dibawa pulang. Terkadang bapa
pulang kampung, memanjat kelapa, buahnya kemudian dijadikan kopra untuk bahan
minyak goreng atau mentega. Kalau kopra sudah banyak, diangkut ke tual dan
dijual ke tengkulak.
Kadang, dari
kelapa yang terkumpul, nene menyuruhku
membawa kelapa-kelapa tersebut ke warung-warung untuk ditukarkan dengan jajan
atau mainan. Tak ada uang, barter pun jadi.
Nene selalu ingin membuatku senang dan betah
di kampung. Kalau adik ayahku tidak sempat mengirim hasil tangkapan ikan
kerumah, nene mengajakku ke pantai saat
air pasang. Menggali-gali pasir mencari bia-bia
kecil yang tersembunyi. Aku suka menggali-gali pasir. Aku suka bia yang
direbus nene. Meski cuma digarami dan
diberi sedikit bawang merah dan bawang putih, bia-nya
lezat sekali. Apa lagi dimakan
dengan nasi yang masih hangat, Hmmm, slurrrp.
Entah kapan
aku bisa kembali…
No comments:
Post a Comment
silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.
komentar akan muncul setelah disetujui.