Friday, 22 April 2011
Seterah
Beberapa pertanyaan mungkin ada jawabannya, beberapa mungkin tidak.
Kalau ada, jawab saja, atau kalau tidak mau, ya bilang saja. dan bila tidak tahu jawabannya, jangan sok tahu. Jujur saja bahwa memang tidak tahu.
Kalau ditanya mau, apa. Bilang donng.... Biar dituruti. Tak perlu melulu ikut-ikutan, atau menuruti orang lain.
Mau apa? Terserah.
Mau dimana? Terserah.
Mau yang mana? Terserah....
Jancukkk!!!!
Aku tanya kamu maunya apa, kuk terserah? Yang punya mau aku atau kamu, sih?
TERSERAH, menurutku bukan jawaban yang baik. kalau dijawab terserah terus, aku merasa seperti memaksakan kehendakku atasmu, seolah jawaban yang nantinya kamu berikan padaku sudah pasti akan aku tolak mentah-mentah, jadi jawaban terserahlah yang kamu pilih.
Emang ada benda terserah? Makan tu seterahmu!!!
Cerita hujan
Butiran hujan melesat membasahi tanah
Ratusan, ribuan, kemungkinan tak terhingga
Meninggalkan langit
Tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik, tik.
Perlahan lalu memburu
Terdengar di atas genting
Gemiricik air menetes dari ujung daun ke tanah
Seolah hasrat yang segera dituntaskan
Mengalir menemukan arusnya, di antara deras kali
Tebing curam,
Dan danau teduh
Rindu anak pada rahim ibunya
Di segara ini
Tempat ia bermuara
Di rahim bumi.
Monday, 11 April 2011
yuri & teri
Yuri?
Ry, yuri?
Di manakah, kamu?
Kemana kamu belum muncul juga? Sebentar lagi hari akan rembang. Aku takut jika harus pulang sendiri. ibu bilang anak nakal yang masih keluyuran waktu magrib akan ditangkap setan. Ngeri!
Kalau kamu tidak bisa datang kenapa saat pulang sekolah tadi kamu tidak memberitahuku? Tiap sore kamu dan aku harus datnga ke taman ini. Dunia kita berdua.
Seringkali, kau duduk selonjor di depanku. Khidmat. Mendengarkan celotehku cerita-cerita yang aku sadur dari Uti Ni, kadang-kadang juga aku tambahkan dari dongeng Kung Fu. Tapi kamu lebih suka tidur-tiduran sembari membaca coretan-coretan dalam buku bersampul pink. Kamu bilang lebih asyik membaca ceritaku dari pada mendengar suaraku, cempreng ejekmu.
Huh, dasar! Aku sangat marah. Tapi entah kenapa, aku tidak pernah punya kekuatan untuk memarahimu. Kamu mau bilang aku nenek sihir sekalipun, aku akan menganggapnya sebagaai puian. Sebab sekian lama dekat dengamu, aku tahu, kamu bukan tipe orang yang suka memuji, mengakui perasaanmu sendiri.
Hanya lukisanmu yang berbicara jujur. Gadis kecil, mata berkaca. Nenek tua dengan senyum lebar menampilkan gigi utuh, dan sisa merah sirih pinang di sudut bibir. Bayi dalam dekapan ayah, duduk di bangku taman. Aku suka semuanya. Beberapa kali sudah aku minta dilkusi, tapi kamu selalu saja mengelak. Katamu, wajahku jelek. Bisa-bisa kuasnya patah semua. Tuh, kan... Kamu memang menyebalkan.
Setidaknya aku masih terhibur mendengar nada gitar menyatu dengan suaramu. Syahdu. Menyenandungkan kisah indah.
Just a smile and the rain is gone
Can hardly believe it (yeah)
There's an angel standing next to me
Reaching for my heart
Just a smile and there's no way back
Can hardly believe it (yeah)
But there's an angel calling me
Reaching for my heart
Dan mungkin satu kesalahan besar. Karena tiap kali kamu memainkannya lagi dan lagi. Aku selalu berpikir 'that angel must be me.'
Malaikat di atas sana menyapukan cat hitam menutupi mozaik-mozaik merah. Langit, Yuri, sudah benar-benar gelap. Kamu tidak datang. Aku pulang dengan ketakutan. Selamat dan utuh sampai rumah. setan tidak menculikku. Dia tau, kuk, aku bukan anak nakal. Hanya seorang gadis malang, menunggu teman yang entah kenapa lupa menepati janji. (oh, sebaiknya, kamu harus hati-hati. Jangan-janngan setan akan menyantumkan namamu di daftar anak nakal.)ketakutanku lebih pada kamu juga tidak akan datang keesokan hari.
#### | ##### | #### |
Moonlight Sonata
Suatu sore Ludwig van Beethoven dan seorang temannya sedang berjalan-jalan. Ketika mereka melewati jalan sempit nan gelap, terdengar alunan musik dari sebuah rumah kecil.
"Sst!" kata Beethoven, "ini salah satu karya terindahku."
Tiba-tiba ada suara berkata, "aku tidak bisa memainkan lagi –ini teramat indah! Aku berharap bisa mendengar karya ini dimainkan oleh seseorang yang pantas melakukannya."
Tanpa sepatah kata, Beethoven dan temannya memasuki rumah tersebut. Rumah seorang tukang sepatu miskin. Sesosok gadis muda duduk di hadapan piano.
"Permisi," ujar Komposer hebat tersebut. "Saya pemusik. Saya dengar kamu bilang ingin mendengar seseorang memainkan karya yang baru saja kamu mainkan. Maukah kamu mengijinkan saya memainkannya untukmu?"
"Terima kasih sekali", jawab si Gadis, "tapi piano kami sudah tua. Lagipula kami tidak punya lembaran musik".
"Tidak ada lembar musik? Lantas, bagaimana kamu memainkannya?" tanya Beethoven.
Gadis tersebut memalingkan wajahnya menghadap sang maestro besar. Diamati lebih dekat, dia tau bahwa si gadis ternyata buta.
"Aku memainkannya berdasar memori", ujar si gadis.
"Dari mana kamu mendengar karya yang baru saja kamu mainkan tadi?"
"Aku biasa mendengar seorang perempuan sedang berlatih dekat rumah lama kami. Selama sore musim panas, jendelanya terbuka, lalu aku berjalan ke sana dan dari mendengarkannya dari luar". Jawab si gadis.
Beethoven duduk di depan piano. Si gadis buta dan saudara laki-lakinya dengan terpesona mendengarkan permainan sang maestro. Pada akhirnya si tukang sepatu datang mendekat dan bertanya, "Anda siapa?"
Beethoven tidak menjawab. Si tukang sepatu mengulang pertanyaannya, dan sang maestro tersenyum. Ia mulai memainkan karyanya yang coba dimainkan si gadis.
Semua yang mendengar menahan napas. Ketika permainan usai, mereka berteriak, "andalah maestro itu! Anda adalah Beethoven".
Ia bangkit untuk pergi, tapi mereka menahannya kembali. "Mainkahlah untuk kami sekali lagi –hanya sekali saja", pinta mereka.
Ia kembali duduk di depan piano. Cahaya cerlang bulan bersinar di dalam kamar kecil nan sederhana.
"Saya akan menggubah sebuah sonata untuk sinar bulan", katanya. Untuk beberapa saat ia memandang penuh perhatian pada langit cerah yang diterangi bulan dan kerlip bintang. Kemudian jemarinya berpindah dari tuts-tuts piano yang terlihat tua. Lewat nada rendah, sedih, dan manis, ia memainkan karya barunya. Akhirnya, ia menyorong kembali kursinya, dan sambil berbalik menuju pintu ia berkata, "selamat tinggal semua!"
Ia berhenti dan memandang lembut wajah si gadis buta. "Ya, aku akan datang lagi untuk mengajarimu musik. Selamat tinggal! Aku akan segera kembali!"
Beethoven berkata pada temannya, "ayo bergegas agar aku bisa menuangkan sonata ini selagi aku masih mengingatnya!"
Begitulah bagaimana karya terkenal Ludwig van Beethoven "Moonlight Sonata" tercipta.
Diterjemahkan dari "The Moonlight Sonata"
"Sst!" kata Beethoven, "ini salah satu karya terindahku."
Tiba-tiba ada suara berkata, "aku tidak bisa memainkan lagi –ini teramat indah! Aku berharap bisa mendengar karya ini dimainkan oleh seseorang yang pantas melakukannya."
Tanpa sepatah kata, Beethoven dan temannya memasuki rumah tersebut. Rumah seorang tukang sepatu miskin. Sesosok gadis muda duduk di hadapan piano.
"Permisi," ujar Komposer hebat tersebut. "Saya pemusik. Saya dengar kamu bilang ingin mendengar seseorang memainkan karya yang baru saja kamu mainkan. Maukah kamu mengijinkan saya memainkannya untukmu?"
"Terima kasih sekali", jawab si Gadis, "tapi piano kami sudah tua. Lagipula kami tidak punya lembaran musik".
"Tidak ada lembar musik? Lantas, bagaimana kamu memainkannya?" tanya Beethoven.
Gadis tersebut memalingkan wajahnya menghadap sang maestro besar. Diamati lebih dekat, dia tau bahwa si gadis ternyata buta.
"Aku memainkannya berdasar memori", ujar si gadis.
"Dari mana kamu mendengar karya yang baru saja kamu mainkan tadi?"
"Aku biasa mendengar seorang perempuan sedang berlatih dekat rumah lama kami. Selama sore musim panas, jendelanya terbuka, lalu aku berjalan ke sana dan dari mendengarkannya dari luar". Jawab si gadis.
Beethoven duduk di depan piano. Si gadis buta dan saudara laki-lakinya dengan terpesona mendengarkan permainan sang maestro. Pada akhirnya si tukang sepatu datang mendekat dan bertanya, "Anda siapa?"
Beethoven tidak menjawab. Si tukang sepatu mengulang pertanyaannya, dan sang maestro tersenyum. Ia mulai memainkan karyanya yang coba dimainkan si gadis.
Semua yang mendengar menahan napas. Ketika permainan usai, mereka berteriak, "andalah maestro itu! Anda adalah Beethoven".
Ia bangkit untuk pergi, tapi mereka menahannya kembali. "Mainkahlah untuk kami sekali lagi –hanya sekali saja", pinta mereka.
Ia kembali duduk di depan piano. Cahaya cerlang bulan bersinar di dalam kamar kecil nan sederhana.
"Saya akan menggubah sebuah sonata untuk sinar bulan", katanya. Untuk beberapa saat ia memandang penuh perhatian pada langit cerah yang diterangi bulan dan kerlip bintang. Kemudian jemarinya berpindah dari tuts-tuts piano yang terlihat tua. Lewat nada rendah, sedih, dan manis, ia memainkan karya barunya. Akhirnya, ia menyorong kembali kursinya, dan sambil berbalik menuju pintu ia berkata, "selamat tinggal semua!"
Ia berhenti dan memandang lembut wajah si gadis buta. "Ya, aku akan datang lagi untuk mengajarimu musik. Selamat tinggal! Aku akan segera kembali!"
Beethoven berkata pada temannya, "ayo bergegas agar aku bisa menuangkan sonata ini selagi aku masih mengingatnya!"
Begitulah bagaimana karya terkenal Ludwig van Beethoven "Moonlight Sonata" tercipta.
Diterjemahkan dari "The Moonlight Sonata"
PKPBA should be reduced
uapminovasi.doc |
On June 2010, there was a demonstration against PKPBA (Program Khusus Perkuliahan Bahasa Arab). The students, most of them are second semester, came with some demands to be fulfilled (Q Post, June). One of which is reducing time schedule of PKPBA at night. Just for your information, sometimes lecture in UIN MALIKI Malang begin from 07.00 WIB and PKPBA begin from 14.00-16-00 WIB & 18.30-20.00 WIB. For regular schedule, the students might do not have specific time how long they study in a day. However, in PKPBA they have 5 hour a day, from Monday-Friday. What a full day! As a student who once studied PKPBA, I agree that the time schedule of PKPBA should be reduced.
Actually PKPBA is a good program, because studying foreign language in a classroom can be effective. This university facilitates the students with foreign languages course (Arabic and English) to help them to compete in global era. Unfortunately, the time is too much, and it bothers the other activities. For instance, students from Faculty of Science and Technology have less time to do their report. Moreover, students who participate in internal/external students' organization could not actualize their selves. There were 90.48% students agree that PKPBA at night should be abolished (Q Post, June), because of some reasons above. PKPBA only have six credit courses each semester, but in the realization of it there were more than 6 credits. Therefore, the demand of students to reduce the time schedule at night should be fulfilled or they will ask more to abolish all illegal credits.
It is a good chance to study foreign language, but if it is forced and it consumes the time, it will not be fun anymore. According to the experiences before, the director of PKPBA and all the staff should reduce time schedule of PKPBA at night and find a new method or formulation to maximize students' abilities and make them enjoy the study.
Thursday, 7 April 2011
Nenek tua; Anak laki dan perempuan.
Dia telah pergi, semoga dengan tenang. Semoga dia tahu betapa aku juga menyayanginya. Meski mungkin mendendamnya.
Karena kau sudah disana, dan aku belum sempat mengatakannya. Lewat puisi ini aku ingin kau tahu. Siapa yang merawatmu saat kau gila dan pikun? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.
Bajumu yang menyebarkan bau busuk, tinja berceceran di dalam kamar, serta tubuh penuh koreng. Siapa yang bersihkan? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.
Lapar, haus, mandi, tidur. Siapa yang layani? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.
Saat kau pikun dan tak waras, sepertinya tidak sempat tercatat rapi dalam memori. Jadi aku akan membantumu untuk mengingatnya. (aku tidak sedang menumpahkan marah)
Perempuan-perempuan yang selalu kau marahi, jatah makannya sering kau berikan pada anak laki-laki. Menurutmu, laki-laki itulah darah dagingmu, akan selalu menjagamu. Yang perempuan, akan jadi milik orang lain, untuk apa dihidupkan?
Kau tahu? Ah, sudah jelas tidak. Mungkin ketika lelakimu masih kecil, muda, bujang, mereka selalu pulang padamu. Minta makan, dicucikan baju, dan barangkali sedikit duit.
Tapi ketika perempuan lain hadir dalam hidup mereka, kau bukan siapa-siapa lagi. Dibanding perempuan serupa ratu di mata mereka. Ya, istri mereka itu. Hah.... Belum lagi dengan boneka-boneka kecil karya persatutubuhan mereka. Kau semakin terpinggir. Perempuan tua, tugasmu menemani boneka-boneka mereka. Bilaperlu juga ikut membersihkan rupa, kalo si ratu tidak sempat. Mencucikan baju boneka-boneka, sebagai penyayang anak dan anak-anaknya.
Oh, tidak. Itu mungkin masih mendingan. Lihat, dengan kondisimu seperti itu, pikun, koreng sekujur tubuh, kadang-kadang gila. Jelas lelakimu enggan menerima. Takut menular pada ratu-ratu mereka, apalagi boneka-boneka kecil, lucu, imut, dan menggemaskan. Tamatlah sudah. Kemana lagi kau hendak berlabuh, jika tidak pada perempuan-perempuanmu.
Air mata menyusuri pipi, suara tersedak. Sumpah, betapa pedih menyaksikan tubuh dan jiwamu yang makin membayi. Perempuan-perempuanmu lah, membelaimu seolah boneka kecil yang tak pernah kauberikan pada selama hidupnya.
Bila akhirnya puisi ini sampai padamu, entah dengan cara apa. Tak perlu kau sesali. Sumpah, aku tidak ingin mebuatmu merasa bersalah.
Subscribe to:
Posts (Atom)