“Menangislah, jika kau rasa itu bisa membuatmu merasa lega” tangannya meraih kepalaku. Kini aku bersandar pada dadanya yang empuk, hangat. Detak jantungnya berirama lembut. Aku suka. Aku seperti dipeluk seorang ibu. Ibu? Seperti apa ibukku?
“Resahku sirna, hanya dengan memandangmu. Tenang, aku tak akan menangis” ujarku sambil mendongakkan kepala.
Kedua telapak tangannya membelai lembut pipiku, berhenti sejenak. “Laki-laki selau begitu. Mereka bilang mereka tak mau menangis, tapi akhirnya terjadi juga. Entah di kamar mandi, entah dimana saja. Asal tak ada yang memergoki.” Wajahnya menatapku seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya. “betul, bukan?” tanyanya. Aku diam saja. Toh jawabanku tak diperlukan. “kalau begitu, sangatlah mubazir tuhan menciptakan air mata untuk kalian, para lelaki.”
Ah, Murni. Kau wanita lugu, cerdas, dan cantik. Bagaimana bisa aku berpaling darimu, menyakitimu.
Aku berdiri, meraih wajahnya yang mungil kedalam tanganku. Kupandangi sesaat, dan mengecup keningnya. Lama, lama sekali. Kemudian mendekap erat tubuhnya, seperti malam-malam sebelumya. Mengecupnya saja, mendekapnya saja. Sebagaimana yang dilakukan ibu padaku. Kapan? Entahlah... Membiarkannya terlelap dibawah sinar temaram dalam pelukanku, hingga pagi. Lalu aku bergegas pergi, sebelum tetangga-tetangganya terbangun.
No comments:
Post a Comment
silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.
komentar akan muncul setelah disetujui.