Suaranya dalam,
seperti datang dari ruang hati paling dalam, dari masa yang telah sangat purba.
Tapi aku tak dapat membaca air mukanya. Tak mengerti apa yang sedang ingin
dikabarkannya.
Ia terus bercerita.
Aku mendengarkan.
Masa mudanya adalah
kuncup bunga yang mekar mewangi. Ia, bukan gadis tercantik, bukan yang molek.
Bukan yang biasa dibayangkan lelaki dalam fetis. Tapi kesalehan, intelektual,
dan nasab bangsawan ada padanya. Ia anggun yang bersahaja. Tidak perlu kerling
menggoda agar laki-laki berbondong-bondong datang melamarnya. Ia tak peduli
itu.
Ia mencintai
anak-anak. Ia menggandrungi berdiri di depan kelas, mengajar. Dunia ia
mengabdikan hidup, dunia yang memberinya kebebasan di depan. Dunia yang
membebaskannya dari dapur dan kasur.
Banyak pria datang
mengetuk pintu hatinya. Tapi tak ada satu pun yang ia terima, sebab ia tidak
berhak untuk itu. Ia tidak cerita, adakah di antara mereka, telah ia berikan
hatinya.
Hidup, baginya,
adalah ketaatan, kepatuhan. Lelaki yang berbagi kasur dengannya; yang
memberikannya anak, bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu, yang dipilihkan ayah
dan ibunya.
Laras air mata
menyusuri gelembur pipi. Tangannya gemulai mengurut lengan yang pernah menamparnya.
Tatapan lelaki
menembus matanya. Menciptakan jeda hening. Mungkin ada penyesalan dan
permohonan maaf yang tersampaikan. Suatu permohonan untuk membebaskannya dari
perasaan bersalah. Agar ia tidak perlu berlama-lama sekarat di atas kasur rumah
sakit dengan tubuh lumpuh, tak bersuara. Agar jalannya untuk kembali kepada
Sang Pemilik tidak terhalang.
Apakah kamu mengerti apa itu cinta? Pernahkah kamu
merasakannya? Aku penasaran
jawabnya, perempuan.
Ia mungkin saja
tidak bahagia bersama lelaki yang tercatat dalam selembar kertas sebagai
suaminya. Lelaki pemarah. Gajinya tidak seberapa untuk menghidupi perempuan
ini. Lelaki yang menendangnya saat ia khusuk salat. Lelaki yang meniduri
perempuan lain, sementara perempuan ini
menidurkan anak-anak di kamar belakang.
Lelaki yang…
semestinya ditinggalkan si perempuan.
Tapi perempuan ini
tak mengenal kata lari. Ia hanya perempuan -perempuan beriman nan patuh. Hidup,
baginya adalah ketaatan. Taat pada suami sebagaimana dianjurkan agamanya.
Menjaga keutuhan keluarga, sebagaimana masyarakat menginginkannya.
Rumah tangga adalah
pengorbanan dan pengabdian. Ia menahan diri, ia mengikhlaskan diri, seraya
berharap; semoga segala yang telah dilewatinya adalah wujud bakti dan amal.
Semoga berpahala baginya.