balaikota Malang, 1 Mei 2012 |
Sekarang, saya
mungkin bukan buruh. Buruh dalam arti sebenarnya (berarti ada arti yang gak
sebenarnya). Tapi suatu ketika ada kemungkinan jadi buruh. Kecuali, saya berani
memutuskan untuk bekerja yang bukan buruh. Melahirkan komoditas yang bisa
menghasilkan uang. Dan dengan uang itu saya bisa memenuhi kebutuhan saya akan
komoditas lain.
Mahasiswa semacam
saya, sejak masuk sekolah dasar sampai bangku kuliah sudah digadang-gadang oleh
orang tua dan kerabat agar kelak jadi buruh. "Nak, kalo sudah besar
jadilah arsitek atau dokter." Anak-anak kecil, bahkan sudah diproyeksi
kelak jadi apa. Kalo ditanya cita-cita-nya pasti pada bilang jadi polisi, pilot
atau dokter dan guru. Jarang-jarang gitu yang mau jadi seniman dan
penulis.
Saya bilang
disiapkan jadi buruh. Lah, apalagi coba namanya. Dalam dunia kerja sekarang,
kan, hanya ada dua posisi pemilik modal-pemilik tenaga, majikan-buruh,
atasan-bawahan.
Mungkin bukan
sebagai buruh dalam artian harfiah. Misal tukang nglinting di pabrik rokok atau
buruh bathil. Tapi bisa saja jadi buruh bagian HRD, supervisor, manajer, atau
guru. Apa pun lah, yang masih di bawah bos posisinya.
Tidak ada maksud
menyinggung. Jangan tersinggung kalau yang manajer disamakan dengan buruh
kasaran. Sebab toh nyatanya memang begitu. Cuma beda kelas saja. Pengkelasan
yang kadang bikin sesama pekerja merasa begitu jauh satu sama lain. Asing. Kalo
katanya eyang Marx alienasi.
Bukan itu saja,
buruh-buruh ini terasing dari diri mereka sendiri. Buruh manajer, menyunggi
kepentingan majikan untuk terus meningkatkan pendapatan dan mengawasi
buruh-buruh di bawahnya. Buruh di bagian produksi, menyunggi kepentingan
majikan untuk terus bekerja dan bekerja. Bekerja untuk menambah pundi
uang-majikan. (Susah juga sih yah jadi buruh kasaran ini. Kerja susah, dibayar
dikit. Kalo mogok kerja, perut mau dikasih makan apa?)
Saya heran, kenapa
tiap Hari Buruh yang demo mesti pekerja-pekerja bawahan dan mahasiswa saja yang
merayakan (aksi). Menurut saya, saat Hari Buruh (1 Mei) kemarin,
manajer-manajer, semua pekerja di mana saja mestinya turut berpartisipasi (dalam aksi) juga dong . Meski mungkin
tidak turut merayakan Hari Buruh, itung-itung tenggang rasa sesama buruh gitu…
:D
Masalahnya buruh itu pekerja kasar
ReplyDeleteMakanya beda dgn karyawan. Coba karyawan kantoran juga termasuk buruh. Maka buruh akan lebih kuat lagi posisi/nilai jualnya
pegawai juga termasuk buruh, buruh kerah putih.
ReplyDeleteSepertinya masalah buruh gak akan ada habisnya ya.
masalahnya.. kalo buruh aja sejahteranya kayak manager ya gimana kalo semua orang milih jadi buruh wk
ReplyDeletebeda'a dengan tingkat pendidikan & cara berfikir mba,
ReplyDeletesaya paling tidak suka dengan yg nama demo, demo tidak akan menyelesaikan masalah, malah menambah rumit masalah. Jakarta sehabis demo MayDay, kondisi'a sampah dimana2, fasilitas umum rusak. Apakah buruh mau bertanggung jawab ?
kalau tidak mau upah kecil, seharusnya berfikir kreatif & inovatif, bukan demo damai tapi merusak :(
ada banyak mulut yang harus diberi makan. ga semua orang bisa ikut demo kendati sebenarnya hati menjerit <<< curcol XD
ReplyDeletemasih banyak yang harus dibenahi.
ReplyDeletesemoga kesejahtraan, kenyamanan dan keamaan dpat lebih ditingkatkan untuk mereka
dan sepertinya tahun depan 1 mei dijadikan tanggal merah