Setelah tiba di
Sampang, Madura, saya tidak tahu apa
yang bisa saya lakukan untuk membantu para penyintas di Gor Sampang. Bermodal
sedikit nekat, Asrus, Arif, Fifink dan saya mendaftarkan diri jadi relawan.
Saya tidak punya pengalaman jadi relawan sebelumnya. Saya tidak punya keahlian
apa-apa. Saya hanya bisa bermain dengan anak-anak dan mejadi teman yang baik.
Rabu pagi, 5
September, awal pertama saya bertemu anak-anak. Kebetulan guru yang biasanya
mengajar belum tiba. Bersama Nira, satu-satunya dokter yang ada, Mbak Anisa,
Mbak Sundari, dan satu orang lagi aktivis gus durian (haduh, maafkan saya yg
pelupa ini), kami lantas membuatkan susu dan membagikan biskuit untuk ke
anak-anak.
Saya sebenarnya
ingin bermain dengan para balita di PAUD, tapi sudah ada guru-nya. Jadinya saya
pindah posisi ke tenda sebelah --sekolah darurat untuk anak SD.
Jangan dikira
lantaran di sekolah saya lalu harus menjadi guru. Saya tetap memposisikan diri
sebagai teman bermain (halah, emang aku gak bisa ngajar). Kami bermain apa
saja, bermain role play guru-murid -saya
yang jadi gurunya, hokey-pokey, sampai
potong bebek angsa dan bernyanyi. Di lain hari kami belajar berbalas pantun.
Kalau soal pantun, anak-anak jago sekali.
Biasanya setiap pagi
ada perpustakaan keliling yang sengaja didatangkan hingga siang hari, jam
sekolah selesai. Saya kadang membacakan buku certita untuk anak-anak. Oh, bukan
membaca, mengarang sebenarnya. Soalnya anak-anak suaka nanya gini, "kuk gak
ada di gamabar?"
Meski baru kenal
beberapa hari, anak-anak ada yang lengket dan suka ngintil saya kemana-mana.
Ada Nurul yang hobi pinjam hape saya buat foto Bu Dokter, dia bilang kalau
sudah besar dia juga mau jadi dokter. Dia ini juga yang mau nemenin saya
ngantri mandi.
Jelis (tulisnya
gampang, lafalinnya susah banget. Harus cocok sama cengkok Madura), dia ini
yang paling sering ngintil saya, suka ngajak ngobrol, tapi saya sama sekali
tidak paham bahasa Madura, parahnya dia juga sama sekali tidak menguasai bahasa
apa pun selain bahasa Madura. Saya harus sering-sering tanya temannya "dia
bilang apa?". Bahasa isyarat jadi sarana tepat untuk kami berdua. Tadi,
pagi-pagi sekali dia menghampiri saya, ia menyodorkan tangannya yng penuh karet
gelang sisa bungkus nasi di tangannya. Ia menggumamkan sesuatu, tapi saya tidak
paham. Tapi dari karet gelang di tangannya saya maklum :: ini karetnya sudah tambah banyak, sudah bisa dirangkai buat lompat
tali. malam sebelumnya saya emang iseng ngambil karetnya lalu saya
jalin, tapi terlalu pendek kalau mau dipakai main lompat tali. Pagi ini, dia
bahagia sekali mengajak saya bermain lompat tali.
Teman kecil saya
yang lain ada si Rohil, borok di lehernya membuka mata saya; bukan dia
satu-satunya penyintas di Gor Sampang ini yang kena tomcat. Kondisi penyintasan belum kondusif benar, semua orang
tumplek-blek jadi satu. Baru ketika relawan YEU datang, penyintas dibuatkan shelter yang lebih rapi. Semua penyntas didata
ulang, setiap rumah tangga dibuatkan shelter
sesuai kebutuhan dan jumlah anggota keluarga.
Saya juga bertemu si
kembar Sughro dan Kubro yang selalu ketakutan tiap kali didekatin orang baru.
Setiap kali saya mendekati dua bocah berumur dua tahun ini, mereka akan
menghindar, mencari-cari kakaknya. Di kemudian hari, ketika punya kesempatan
ngobrol dengan kakaknya, Siti Romlah, saya baru tahu kenapa si kembar ini
trauma dengan orang baru.
Masih ada beberapa
teman kecil saya seperti Hikmah, Ayu, Isrofil, Hawa' dan beberapa lain yang
belum saya hafal betul nama dan rautnya. Sayang, saya tidak bisa berada lebih
lama di sana seperti yang sudah saya rencanakan bersama my partners in crimes. Saya harus segera pulang ke Tual karena
suatu alasan, padahal belum genap seminggu saya di Sampang. Hingga saat ini
selalu ada keinginan untuk kembali menemui teman-teman kecil saya. Dan saya
juga berdoa, agar kelak mereka bisa kembali ke kampung halaman mereka; tanah
leluhur mereka dimakamkan, dan tempat mereka dilahirkan (Pram).