Langit terlihat
cerah. Matahari pukul 10 (1/5) tidaklah menyengat. Di bawah rerimbunan pohon
seputaran DPRD dan Balai Kota Malang beberapa pedagang menjajakan barang.
Jalanan lengang. Kendaraan dialihkan ke arah berlawanan, melewati jalan depan
Aula Skodam. Jalur depan Balai Kota sengaja disterilkan. Kawat duri terpasang
sepanjang gerbang depan Balai. Beberapa polisi dan polwan (polisi wanita) sudah
siap berjaga-jaga.
Rencanya akan ada
aksi May Day. Tiap tanggal 1 Mei, selalu ada aksi para buruh. Sunantin dan Siti
Fatimah menyanggah sebutan demo, aksi atau pun sinonim lainnya untuk agenda
hari itu. “Merayakan ulang tahun buruh,” jelas kedua pabrik Banyubiru tersebut.
Sebuah truk kuning
meluncur diiringi sekerumun orang. Para buruh dan mahasiswa yang baru saja di
kantor Bupati depan alun-alun. Terdengar gerutu ibu-ibu menyesali kantor yang
dipagari kawat duri.
Pedagang langsung di
serbu para buruh. Beberapa lain memilih istirahat di pinggir jalan. Berjejal di
antara pedagang. Sutina salah satunya.
Umurnya 52 tahun
saat ini, dan masih bekerja untuk makan sehari-hari. Sudah 15 tahun bekerja di
pabrik rokok yang sama, PT Utama Mama, mengepak rokok dalam kemasan. Ia memulai
kerja tiap pukul 05.00 WIB dan selesai pukul 08.30 WIB.
Dengan jam kerja
seperti itu, tidak banyak upah yang diperoleh. Tiap mengepak 1 bal rokok berisi
1o batang, ia dihargai 10 ribu. Kalau isinya 12, dihargai 12 ribu. Kini di
usianya yang menua dan tenaga melemah, ia tidak dapat bekerja lebih cepat. Tiap
bayaran mingguan rata-rata 70-an ribu yang bisa dibawa pulang. Ia berharap bisa
punya waktu lebih, biar penghasilan bisa bertambah.
Ada tiga perkumpulan
buruh di tempatnya bekerja; paguyuban buruh, SBSI, dan SPBI. Sutina ikut SPBI.
Ia tidak seberapa paham, yang penting bergabung. " Ya ikut ajah.
Teman-teman semuanya ikut."
Dalam aksi kali itu,
orasi persatuan SBSI, Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), dan
Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu menuntut beberapa hal.
Seperti penghapusan sistem kerja dan outsourcing, mewujudkan upah buruh sesuai
Kebutuhan Layak Hidup (KLH), mewujudkan pengawasan dan perlindungan hukum
terhadap Buruh Migran dan Pekerja Rumah Tangga, mewujudkan jaminan sosial bagi
rakyat tanpa syarat, menuntut keadilan hukum bagi para pemberi kerja yang
melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, menolak sistem Kerja Rumahan, menolak
penentuan hukum Upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) dua tahun sekali, menuntut
pembubaran PPHI (pengadilan Perselisihan Hubungan Idustrial), serta menolak
praktil pemberangusan serikat buruh/pekerja.
Dari sekian itu, tak
satu pun dimengerti Sutina. Yang ia tahu, ini momen yang tepat untuk mengajukan
tuntutan haknya sebagai buruh. "Siapa tahu bisa minta apa gitu, Mbak.
Minta gaji dinaikan lagi," ujarnya. Ia hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) dan
tidak punya keahlian lain. Belasan tahun bekerja, ia tidak pernah berniat
pindah kerja meski upah rendah dan tak pernah diangkat jadi buruh tetap.
No comments:
Post a Comment
silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.
komentar akan muncul setelah disetujui.