Garis-garis lengkung ke bawah, menghiasi pipi, kerutan di dahi menggambarkan bahwa sang empu sudah tak lagi muda. Pancaran matanya hampir redup, tapi menyimpan banyak harap untuk bisa bertahan. Badannya terlihat ringkih dari balik pakainnya yang selalu terlihat kebesaran. Kakinya kurus sekali. sulit membanyang kaki-kaki kecilnya menyusuri jalan, menuntun gerobak jualan.
Kacang. kacang kulit, gulo kacang. Gulo kacang, kacang kulit. Setiap hari.
Garis-garis lengkung ke bawah, menghiasi pipiku, kerutan di dahi menggambarkan aku sudah tua. Pancaran mataku mungkin mulai redup, tapi masih menyimpan banyak harap untuk terus bertahan. Badanku sudah ringkih di balik pakaian yang kebesaran. Kakiku kurus sekali. Namun tidak sulit bagi kaki-kaki kecilku menyusuri jalan, menuntun gerobak jualan.
Kacang, kacang kulit, gulo kacang. Gulo kacang, kacang kulit. Setiap hari.
Garis-garis lengkung ke bawah, menghiasi pipi, kerutan di dahi menggambarkan sang empunya sudah tua, ceritanya. Pancaran matanya hampir redup, tapi menyimpan banyak harap untuk bisa bertahan, itu yang menarik hatinya. Dia bilang badannya ringkih, dilapisi baju yang selalu terlihat kebesaran. Dan kakinya kurus. Aku juga sulit membayangkan kaki-kaki kecilnya menyusuri jalan, menuntun gerobak jualan.
Kacang. Kacang kulit, gulo kacang. Gulo kacang, kacang kulit. Setiap hari
Monday, 20 December 2010
Friday, 17 December 2010
perempuanku #2
“Senin dan Kamis” ujarnya smbil menutup pintu.
Aku hanya termangu di teras rumahnya, aku merasa kembang-kembang yang berjejer rapi dalam pot-pot di teras rumahnya, meliuk-liuk mengejekku. Sekuntum mawar merah yang kan kuberikan kepadanya layu seketika dalam genggamku yang memanas. Rinduku begitu sangat pada Murni telah menuntunku kesini.
“Emangnya puasa?” aku menahan daun pintu.
“Anggap saja begitu”
Aku melangkah gontai keluar pekarangan. Berjalan membawa segudang keinginantahuan tentang siapa yang mengujungi sepagi ini. Apa dia si Profesor Botak, si DPR Buncit, atau si Pengusaha Necis? Atau dia orang yang belum pernah diceritakan Murni?
Ingin sekali kutarik bunga-bunga dekat pagar, merobek daunnya, mencabut paksa akarnya, atau menendang pot. Biar berantakan. Dan aku puas, meski hanya membayangkan.
Aku hanya termangu di teras rumahnya, aku merasa kembang-kembang yang berjejer rapi dalam pot-pot di teras rumahnya, meliuk-liuk mengejekku. Sekuntum mawar merah yang kan kuberikan kepadanya layu seketika dalam genggamku yang memanas. Rinduku begitu sangat pada Murni telah menuntunku kesini.
“Emangnya puasa?” aku menahan daun pintu.
“Anggap saja begitu”
Aku melangkah gontai keluar pekarangan. Berjalan membawa segudang keinginantahuan tentang siapa yang mengujungi sepagi ini. Apa dia si Profesor Botak, si DPR Buncit, atau si Pengusaha Necis? Atau dia orang yang belum pernah diceritakan Murni?
Ingin sekali kutarik bunga-bunga dekat pagar, merobek daunnya, mencabut paksa akarnya, atau menendang pot. Biar berantakan. Dan aku puas, meski hanya membayangkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)