Kalo ada lagunya lee
chul seung, geu sarang, di playlist hape saya, itu karena saya ketularan
ponakan saya yang masih kelas 2 SD, Nisa.
Kalau saya suka
nonton Dream High dan iseng-iseng ngapalin soundtracknya, itu karena ketularan
Nisa juga.
Kalo saya
berulang-ulang nyanyiin reff lagunya Cherrybel, itu juga karena Nisa sering
banget nyanyi lagu-lagu mereka. (emang Cherrybel girlband Korea?)
Ternyata bukan cuma
remaja ke atas penggemarnya, anak-anak pun sudah pada melek Korea. Kalau
sebatas suka lagu, drama, dan film, saya pikir ini masih dalam tahap wajar
demam gelombang korea. Tapi kalau sampai mau jadi tkw pun harus di Korea,
kuliah harus di Korea? Cantik harus Korea? Entahlah…
Gelombang besar
demam Korea sedang bergulung-gulung menghantam kita saat ini. Saya kira kita
sama-sama tahu, tapi saya ingin merekamnya -meski tak banyak- untuk kita kenang
kelak.
Sekarang dunia
hiburan sampai bacaan pun seolah condong berkiblat ke Korea. Fenomena boyband
dan girlbind macam Sm*sh, Hitz, atau 7icon adalah sekian dari perayaan mimikri
total panggung hiburan Korea. Saya rasa bukan itu saja, beberapa sinetron
Indonesia pun pernah mengadaptasi drama Korea, yang paling saya ingat Benci
Bilang Cinta meniru Princess Hours.
Bukan di panggung
televisi saja yang sedang terhegemoni Korea. Saya sempat terkaget-kaget waktu
ke toko buku. Teenlit dan novel-novel sekarang juga mimikri Korea juga. Judul
dan isinya pada Oppa-oppa dan saranghae-saranghae gitu.
Kalau yang dewasa saja menganggap itu sebagai sesuatu yang lazim, saya khawatir dengan
anak-anak yang sedang tumbuh kembang. Bagaimana mereka akan memaknai
pertarungan wacana ini.
Pernah suatu kali
saya memergoki Nisa sedang menaburi tubuhnya penuh bedak tebal. Dari wajah
sampai kaki. "Biar putih, Ma Novi." ujar nisa polos. Diam-diam saya
berdoa, semoga dia tidak tahu kalo Bayclin di kamar mandi itu produk pemutih
(pakaian).
Di lain waktu, di
bilang gini ke mamanya, "Mami, aku pengen punya mata kayak
begini," kedua tangannya menarik
kulit sekitar ekor matanya sedikit ke belakang. Saya dan mamanya hanya saling
memandang penuh arti sambil menahan tawa. See,
dia pengen punya mata sipit! Dia belum
tahu, gadis-gadis korea justru pengen punya mata lebar kayak punya dia.
Aduh, miris. Setiap
kali kita menonton artis-artis korea depan layar kaca, sepertinya kita tidak
sekadar menikmati lagu, drama, dan tariannya. Rupa-rupanya kita juga
mengonsumsi ras, fetis, dan ideologi serta.
Setiap hari, kita
diserbu pelbagai macam tanda. Tanda-tanda berhamburan menghampiri
kebermaknaanya dalam diri kita. Wacana Korea menggempur tanpa ampun. Dominasi,
bukan lagi soal siapa menjajah siapa. Sekarang berbalik jadi siapa menghegemoni
siapa. Kita dikepung pertarungan ideologis, yang menurut Stuart Hall,
setidaknya ada tiga sikap yang akan muncul; menerima, bernegosiasi, atau
melawan. Mari melihat ke dalam diri kita sendiri, seperti apa sikap
kita.