Kulit gelap, kacamata sedikit melorot di atas hidung. Kelopak mata seperti punya Habibi (mantan presiden itu tuh...) Suka senyum, ada gingsul yang menyembul di sana. Sosok itu mengenalkan diri, Arif Subiyanto. Cara ngomongnya berapi-api. Tapi suaranya tidak menggelegar keras. Sangat bagus untuk memulai pembekalan PKL untuk profesi penerjemah yang berlangsung pada 4 Januari 2012. Kata teman saya, Esa, ia merasakan energi baik yang di tularkan. Ada semangat yang ditransfer ke seluruh ruangan, ke sembilan mahasiswa, dan seorang moderator. Meski Irma, moderator, bilang tanggapan kami seperti orang yang kurang antusias.
Sehari-hari ia mengajar di Sastra Inggris Universitas Negri Malang (UM), selain itu juga menerjemahkan untuk penerbit-penerbit besar. The Death and Life of Superman merupakan novel yang pertama ia terjemahkan. Diterbitkan Erlangga.
Saat mengabsen, setiap peserta ditanyainya satu-satu; dari mana asalnya? Kelak apa yang dilakukan jika sudah lulus? Lalu menimpali dengan cerita atau pengalamannya sendiri.
"Rahantan is your last name, right?"
"Iya, Pak." Arif bertanya dari mana asalku, aku jawab dari Maluku. Banyak orang di pulau Jawa ini tidak tahu Tual, jadi aku bilang saja dari Maluku. Namun, yang satu ini pengecualian, Ia lalu bertanya lagi, dari pulau mana spesifiknya. Aku jawab dari pulau Kei. Ia bercerita tentang pengalamannya ke Dobo di Kepulauan Aru -perjalanan ke Dobo biasanya transit di Tual. Dalam kenangannya banyak rumah-rumah yang didirikan berbahan kayu besi, satu sak semen harganya berkali lipat daripada di Jawa. Di sana tidak ada genteng, orang-orang menutupi rumahnya dengan daun seng.Ia mengagumi hasil alam berupa mutiara yang banyak ditemui di sana. Pada musim-musim tertentu, ikan-ikan terdampar begitu saja di pantai, dan orang-orang berebutan menangkap. Betapa murahnya anugerah tuhan di sana, tak heran kalau penduduknya jadi sedikit pemalas.
Ia juga menyoal nama Puthu Akbar, peserta lainnya. Apa dari Bali? Dia dari malang. Orang Lowokwaru, rumahnya dekat hotel Santika. Tidak sekali ia ditanya seperti itu. Hampir semua dosen pernah mengajukan pertanyaan serupa. Puthu diambil dari bahasa jawa, artinya cucu. Baik dari keluarga ibu maupun ayahnya, puthu adalah cucu pertama, karenanya dinamai demikian. Ah, kakek-neneknya pastilah sangat bersukacita saat menyambut puthu pertama mereka.
Mulanya saya pikir Arif tipekal orang yang suka menjelajah. Jalan-jalan. Ia tahu seluk beluk Jepara, rumah Lita. Ia Juga tahu Kalimantan, tempat Keluarga Esa menetap. Nyatanya ia mengakui lebih senang di rumah dan menerjemahkan, dan hanya keluar jika benar-benar penting. Sehari ia bisa menerjemah sampai dua puluh halaman. Dulu, saat masih muda, bersemangat, dan produktif ia bisa menghasilkan empat puluh halaman.Ia terus bercerita, kami semua mendengarkan. Tak berniat memotong. Saat berbicara sekalipun, masih terlihat sepotong senyum bahkan tawa diantara kata-kata yang berhambur keluar.
|
salah satu buku terjemahan Arif Subiyanto |
Ia mulai menerjemah tahun '94, dan bercita-cita ingin menerjemah untuk Gramedia. Beruntung, Gramedia butuh penerjemah untuk novel baru. Ia menyebut Rina dan Tanti Lesmana, nama-nama yang dihubunginya saat mencari lowongan di Gramedia. Seperti yang diharapkan, ia menerjemahkan novel tersebut. Gramedia menghubunginya dan berterimakasih, sudah enam bulan mereka mencari penerjemah yang pas. Dan Arif yang tepat.
Sebagai dosen, tidak banyak riset ilmiah yang dilakukan. Karya terjemahannya seperti Resurrection karya Tucker Malarkey dan State of Fear milik Michael Crichton, jika sudah diterbitkan sudah dianggap sebagi karya ilmiah. Selain itu, ia juga tidak suka yang ilmiah-ilmiah, ia mencintai sastra. Ketika menerjemahkan novel, ia sangat giat. Mood-nya dapat. Bisa selesai kurang dari satu bulan. Tapi kalau buku pelajaran atau fiksi lainnya, pengerjaan bisa molor sampai satu bulan lebih.
"Menerjemahkan, kalau novel, satu halaman 45 ribu." ia menyebutkan nominal sekadar untuk menyemangati kami. Aih, tinggal kalikan saja berapa ratus halaman dalam satu novel. Sekarang ini, jasa penerjemah sangat dibutuhkan, apalagi oleh penerbit-penerbit besar. Biaya cetak buku-buku terjemahan lebih murah dan harga jualnya mahal. Bandingkan dengan menerbitkan buku-buku penulis Indonesia. Keuntungan harus dibagi dengan royalti penulis.
Menjadi penerjemah, selain menyalurkan kreatifitas dan kesenangan, ternyata lebih dari lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada 2002 silam, ia mendapatkan proyek menerjemahkan UU KDRT oleh DPR. Kontrak kerjanya senilai 15 juta. Namun karena beberapa kendala, Arif susah menyelesaikannya. Lima hari berturut-turut menjelang deadline, ia tidak tidur. Terus bekerja. Ketika tugas selesai, dan ia dibayar 22 juta. Rumah pertamanya, dibeli dari gaji tersebut, ditambah hasil menabung saat nyambi kerja di Australia sebagai office boy selama 13 bulan.
Meski sudah lama jadi penerjemah, tetap saja semuanya tidak selalu mudah. Bagian sulit saat menerjemah baginya adalah judul dan kalimat awal. Dua hal yang akan sangat mempengaruhi impresi pembaca. Kesan apa yang akan kita berikan saat memilih judul? Bagaimana pembaca diajak mengikuti cerita sejak dari kalimat pertamanya? Ya, jangan sampai salah langkah.
Oya, ada satu lagi yang saya catat. Selain murah senyum, ia humoris juga (satu paket kali yah...) Waktu kami sedang mengerjakan tugas darinya, ia bertanya "Harm artinya apa?" Berbahaya, anak sd sekarang mungkin juga tahu. "Kalo harmful?" sangat berbahaya. "Kalo harmless?" ya tidak berbahaya. "Kalo sangat berbahaya dan menakutkan?" nah loh? Gak tahu kan... "Ha(r)mbali," terduga teroris. "Kalo tidak berbahaya dan menyenangkan?" apalagi ini? "Ha(r)mster," grrr, hahaha. Cukup mikir dan cukup tiga detik tertawa.