Friday, 18 November 2011

krisis percaya diri

ni gambar dari sini nie.. [link]


Bersembunyi di bawah selimut yg lembut..


Pura-pura membaca, buku, majalah, atau koran.

Menutupi wajah dengan kedua tangan

Apa saja biar tak ada yang lihat wajahku.

Hufttt, melingkar di rahim ibu sepertinya nyaman sekali.

Kaki ini, tak kuasa menahan beban tubuh. Bergetar didera takut, malu, cela.

Sepertinya ujung sepatu yang sobek jadi objek pandang paling menarik.

Sunday, 13 November 2011

hepi together

 
haha,,, tetap bersama dan hepi-hepi,,, walau majalah gak terbit2
semangat!!!!

Thursday, 10 November 2011

terlelap





o, tidak
sepertinya aku sedang tidur -tidur panjang
udara yang kuhirup, tangan yang ku genggam,
nyata atau hanya mimpi
tak bisa kubedakan lagi
tapi juga tak tahu apakah nyata dan mimpi benar-benar sama
tolong, bangunkan aku!

Tuesday, 8 November 2011

SUMBANGAN INTELEKTUAL

 
 

Judul               : Khazanah Intelektual slam   
Penerjemah      : Nurcholish Madjid
Editor              : Nurcholish Madjid
Penerbit           : Bulan Bintang
Cetakan           : 1984
Tebal               : VII, 384 halaman


           
Islam di bangun di atas sejarah panjang. Peradaban islam bukan ka’bah, sejarah islama bukan masjid nabawi. Islam sublim dalam ruhnya, yang dipegang teguh oleh umat islam. Dialektika dalam islam, setuju atau tidak, telah berpengaruh besar dalam sejarah islam. Begitu mewarnai intelektual islam. Di sini, saya menemukan bahwa, sejarah dan peradaban islam bukan saja kebudayaan, artefak, artefak, atau politik, tapi juga warisan pemikiran sarjana-sarjana muslim. Untuk itu, khazanah Intelektual Islam menjadi laik untuk dihadirkan di hadapan anda.
Buku ini merupakan terjemahan karya-karya sepuluh sarjana besar islam. Ada Alkindi, Al-Asy’ari, Al-Farabi, Ibn sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan terakhir Muhammad Abduh. Jangan pernah membayangkan riwayat hidup mereka dalam buku ini, sebab ini adalah riwayat pemikiran yang hidup dalam karya-karya.
Kita patut berterimakasih pada cendekiawan Nurcholish Madjid atas upayanya dalam menerjemahkan karya-karya intelektual islam, sehingga pemikiran mereka sampai kepada kita saat ini.
Terhitung sejak meninggalanya nabi, perebutan kekuasaan sudah mulai kembali mewujud. Kesukuan atau syu’biah juga bermunculan. Masalah semakin mengerucut dan rumit pasca naiknya Ali sebagai khalifah ke-empat. Perselisihan paham antar sahabat nabi sebenarnya juga sangat jelas terlihat. Bilal contohnya, perna memprotes kebijakan Umar. Bilal menuduh Umar telah menyimpang dari Al-Qur’an dan sunnah, sebab tanah yanng baru saja dibebaskan di Iran tidak dibagikan kepada tentara muslim, tapi malah diberikan kepada para petani-petani kecil yang bukan muslim. Menurut Al-Qur’an harta rampasan perang sejatinya dibagikan kepada muslim, tappi umar dengan jiwa sosial yang tinggi, memiliki pemikiran beda, yang tidak dipahami para sahabat lain.
Setelah Ali, muncul aliran-aliran dialektika atau dalam islam dikenal sebagai ilmu kalam. Mulanya berdebat mengenai kedudukan Ali dan Mu’awiyah dalam perebutan kekuasaan mereka. Namun, paham-paham tersebut ternyata terus memengaruhi tindak laku yang lain, bahakan perpolitikan kekuasan khalifah-khalifah selanjutnya.
Khawarij, Murjia’ah, Jabbariah, Qadariyyah, dan Mu’tazilah, merupakan aliran-aliran besar yang muncul pada saat itu. Aliran terakhir, Mu’tazilah sedikit banyak dipengaruhi filsafat Yunani yang dibangun atas kebebasan rasio. Dari sinilah muncul perumusan ­ushul fiqh oleh Imam Syafi’e dan ushul al-din oleh kaum Mu’tazilah.
Setelah mu’tazilah, lahir para pemikir islam yang di sebeut sebagai al falasifah, mereka adalah para skolastik islam yang menekuni filsafat Yunani. Aristoteles yang mengakaji logika formal (al manthiq), bilogi, ilmu bumi matemaris, dan masih banyak lagi, merupakan filsuf Yunani yang pemikirannya banyak dadopsi oleh para skolastik di atas.
Abu Ya’qub ibn Ishaq Al Kindi (wafata sekitar 257 H/870 M) adalah orang pertama yang menjadikan filsafat Yunani terkenal dalam islam.
Dalam anatologi ini,  pemikiran Alkindi dapat diketahui daru kedua risalah yang ditulisnya. Pertama, Risalah tentang Kemahaesaan Tuhan dan Keterhinggaan Massa Alam. Ia berbicara mengenai keesaan tuhan, menegaskan ajaran tauhid yang dibawa turun-temurun oleh para nabi, dan juga mengenai kebadaian alam yang ternya terbatasi, terhingga. Semacam kritik pada filsafat Aristoteles. Risalah keduanya adalah Risalah tentang Akal. Risalah ini seperti meringkas ulang dengan rasa penuh kebanggaan kepada filsafat ajaran Aristoteles mengenai akal. Al Kindi mengajak kaum muslimin untuk memanfaatkan mata akal secara radikal, menurutnya hal ini akan mengantarkan muslim menuju ma’rifat yang luas.
Selanjutnya adalah Al Asy’ari (wafat 300 H/913 M.) ia adalh pengukuh fondasi kaum Sunni. Nama  lengkapnya, Abu al Hasan al-Asy’ari.  Meski seorang Sunni, ia mulanya adalah penganut faham Mu’tazilah. Metode filsafat kerap terlihat dalam penulisannya mengenai teologia dan pemikiran intelektual lainnya. Meminjam metode berfikir mu’tazilah, Al-Asy’ari tercata sebagai orang yang bisa mengkritik tepat ajaran Mu’tazilah pada sasaran.
Buku ini memperkenalkan kita pada Al-Asy’ari, bersentuhan langsung dengan pemikirannya lewat tulisan. Pembelaan bagi Pengkajian Ilmu Kalam menegaskan pandangannya terhadap ilmu kalam. Semacam argumentasi menguatkan kedudukan kalam di hadapan orang-orang yang alergi terhadap ilmu kalam (filsafat retorika). Ia menohok langsung dengan  mengambil imam-imam mazhab besar dalam islam. Menurutnya, nabi Muhammad tidak pernah membincangkan nazar, wasiat, apalagi pembebasan budak yang kemudian ditulisnya dalam kitab. Tidak, nabi tidak pernah menulis buku, tapi itu dilakukan oleh para pewarisnya seperti Malik, Al Syafi’i, dan Abu Hanifah. Bukankah itu bid’ah? Dan bukankah secara sadar kita mengikuti ajaran imam-imam tersebut?
Selanjutnya adalah adalah Muhammad Abu Nash al-Farabi (wafat 340 H/950 M). Atau yang lebih kita kenal sebagai al-Farabi, guru kedua dalam falsafah islam setelah Aristoteles. Filsuf muslim kedua setelah al-Kindi, meskipun begitu banyak yang mengakui bahwa kapasitas keilmuan al-Farabi lebih unggul.
Di dalam karangan berjudul Perincian Ilmu Pengetahuan, ia menjabarkan ilmu ketuhanan yang terdiri dari tiga bagian; pertama yang membahas semua wujud, kedua yang membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori partikular, dan terakhir ilmu yang mebahas semua wujud yang bukan berupa benda atau yang berada dalam benda.
Selain itu ada juga ilmu politik yang menerutnya mempelajari tingkah laku, watak-watak manusia agar dapat mengetahui bagaimana manusia dapat diatur, dikuasai, serta bagaimana melanggengkan kekuasaan tersebut.
Sementara yang dimaksud ilmu fiqih ialah ilmu yang memberi hak untuk menyimpulkan hukum-hukum tentang hal-hal yang tidak dijelaskan secara rinci. Ketentuan hukum mengacu pada nas dengan mempertimbangkan alasan tujuan atas agama yang diturunkan pada umat.
Terakhit ia menjelaskan ilmu kalam. Ilmu kalam adalah kemampuan berargumentasi untuk mempertahankan dan membenarkan ide-ide serta perbuatan-perbuatan. Tentu tetap berdasar pada dalil-dalil serta bertujuan membela islam.
Pemegang estafet falsafat islam Al-Kindi dan Al-farabi adalah Abu ‘Ali Al-Husayn ibn ‘Abdullah ibn Sina (wafat 428 H/1037 M.) Karangannya berjudul Risalah tentang Peneguhan kenabian dan tafsir akan Simbul-simbul serta Lambang Para Nabi, berusaha mengukuhkan kedudukan para nabi, sama halnya dengan para filsuf sebelumnya. Mengenai nabi ia menulis (141):
            Inilah yang disebut Nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bbentuk-bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka Nabi  berdiri di atas semua wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.
Al-Ghazali yang bernama asli Abu Hamid ib Muhammad al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) merupakan filsuf selanjutanya yang muncul setelah Ibn Sina. Pemikir orisinal yang tampil hebat dengan mengkritik filsafat al-Farabi dan Ibn Sina.
Jika al-Asy’ari meminjam metode Mu’tazilah untuk mengkritis Mu’tazilah, sama halnya dengan al-Ghazali yang kali ini meminjam metode ilmu kalam dan filsafat guna membela agama dan kembali mengaktifkan kajian keagamaan. Karya-karyanya terkenal adalah Ihya ‘Ulum al-Din dan Tahafut Falasifah. Menurutnya, kedkatan hamba dengan tuhan dapat dihayati dalam kehidupan zuhud seperti yang dilakukan para sufi.  
Penjelasan yang Menentukan, merupakan tulisannya yang tersitematisasi dalam tigabelas pasal. Ia mendedahkan dengan rinci tantang hakikat ada, kafir, pengkafiran, mengambil hukum tentang fakir. Semuanya dalam bahasa yang sangat filsafat.
Ahli Fiqih yang juga seorang filsuf adalah Ibn Rusyd, Abu al-Walid ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd (wafat 594 H/1198 M). Di dunia filsafat, ia merupakan filsuf yang sukses menerjemahkan filsafat Aristoteles. Tidak hanya terkenal di Arab, ia juga dikenal di Eropa.
Ibn Rusyd lahir dari keluarga hakim yang sangat dekat dengan tradisi ilmu keislaman, fiqih. Ia sendiri  sangat menguasainya, Bidayatul Mujtahid merupakan contoh karya nyata yang dekat dengan fiqih.
Ia coba mencari jalan damai antara filsafat dan Syariat, tulisannya yang kemudia diterjemahkan menjadi Makalah Penentu tentang Hubungan antara filsafat dan Syariat menjelaskan lebih detai mengenai hal tersebut. Ia menulis makalahnya dengan tujuan mencari pembenaran, adakah filsafat diperbolehkan untuk dipelajari dalam hukum syara’. Ia tiba pada kesimpulan bahwa filsafat sangat erat kaitannya dengan syara’. Kekacauan filsafat, bisa berakibat kekrusakan pada syara’ juga. Untuk amannya, setiap orang hendaknya berilmu, paling tidak tidak taqlid pada syara’, juga tidak menjadi bagian dari kegilaan para filsuf.
Pembaharu selanjutnya adalah Taqi al-din Ahmad ibn Timiyyah, atau Ibn Taimiyyah (wafat 728 H/1328 M). Tulisannya berjudul Tangga Pencapaian mengkritik para filsuf terdahulu seperti Ibn Sina dan Ibnu Rusyd. Menurutnya, para filsuf terdahulu lewat analisis mereka telah mengklaim bahwasanya nabi telah melakukan kebohongan mengenai nubuwat demi sebuah kebaikan.
Ibn Taimiyyah menyangkal tuduhan para filsuf tentang para nabi yang disebut tidak memahami esensi kenabian, ketuhanan, dan universala. Hakikat hanya diketahui oleh ahli filsafat. Ia sangat radikal dan kritis terhadap pokok ajaran yang sudah diwariskan dalam islam, baginya Al-Qur’an dan Sunnah memiliki tempat tinggi yang tak tergantikan.
Setelah Ibn Taimiyyah adalah ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun yang lebih populer sebagi ibn Khaldun (808 h/1406 M). Ia menulis tentang Ilmu Pengetahuan dan Berbagai Jenisnya, tentang pengajaran serta Metode-metode dan Aspek-aspeknya, dan Tentang Berbagai Hal yang Bersangkutan dengan itu Semua.
Poin yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah, sejatinya ilmu pengetahuan dan pengajaran merupakan hal yang alami dalam peradaban manusia. Ilmu pengetahuan mekar hanya bila peradaban tumbuh serta kebudayaan berkembang. Ia juga berpendapat bahwasanya ilmu penegtahuan terbagi menjadi dua bagian besar, yang pertama ilmu-ilmu hikmah dan filsafat, sedangkan yang kedua adalah ilmu-ilmu tradisional dan konvensional.
Ia juga membahas ilmu kalam, ilmu –ilmu rasional dan bagian-bagiannya, lalu ia membantah falsafah, dan terakhir mengenai cara yang benar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan dan metode penggunaannya.
Salah seorang lagi pembesar isalm kali ini dalam kancah modern adalah Jamal al-Din al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M). Inilah al-Afghani, pembaharu islam modern. Tulisannya dalam bung rampai ini berjudul Masa lalu Umata dan Masa Kininya, serta Pengobatan bagi Penyakit-penyakitnya, menyiratkan pemikirannya yang sangat jelas akan islam saat ini. Ada kekhawatiran di sana.
Ia melihat umat islam sedang berdiam dibawah kemunduran terus-menerus, sehingga perlu kiat tertentu untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Ia menuntut umat islam untuk berfikir seradikal-radikalnya, sebebas-bebasnya. Tapi tentu saja, tetap dalam semangat menjalankan kemurnian islam.
Intelektual selanjutnya adalah Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M). ‘Abduh merupakan murid al-Afghani, keduanya pernah menerbitkan majalah dalam bahasa Arab di Perancis,al-Urwah al-Wutsqa. Ia banayak belajar ilmu logika, ilmu kalam, astronomi, metafisika, dan sufisme isyraqiyyah dari sang guru.
Ia menulis sebuah Mukaddimah (Tentang Ilmu Tauhid). Ilmu yang mempelajari keesaan tuhan. Sejak wujud, sifat-sifatnya yang wajib, jaiz, maupun mustahil. Ia juga meringkassejarah dealektika ilmu kalam dalam tulisannya ini.
Akhirnya, buku ini menjadi bacaan wajib bagi anda untuk lebih memahami pergolakan pemikiran dalam islam. Sangat bermanfaat bagi nutrisi kognisi khazanah keislaman. Ia menyentuh dengan pemikiran, bukan sekadar kebanggan pada ketokohan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...