Thursday 27 June 2013

Jembatan

Tidak mudah menyatukan aku dan kamu, bahkan dengan siapapun itu. Ada jarak antara keduanya yang perlu direkatkan. Untuk itulah kita membangun jembatan.

Bagi sebagian orang, proses membangun jembatan ini bakal mudah. Berbeda dengan aku, proses itu butuh energi ekstra. Susah payah.

Sebab itu, aku selalu berusaha merawat jembatan kita, agar ia tetap kokoh.

Jika sekali saja kau mencoba memutusnya -bahkan memikirkannya saja, tak perlu repot. Aku akan menyulut api hingga menjadikannya debu yang tak berarti dalam pusaran udara.

*pict from visualize

Thursday 20 June 2013

pernah mimpi




Aku pernah bermimpi dalam tidurku. Aku memimpikan diriku. Aku yang sudah menikah. Punya empat anak lucu, menggemaskan, dan, tentu saja, nakal. Ada juga seorang lelaki di sana, mimpiku. Kami memanggilnya 'Papa.'

Kami menempati rumah yang tdak mungil, tidak juga terlalu besar. Meskipun begitu, halaman rumah kami cukup luas. Halaman depan penuh bebungaan; favoritku kembang kantor. Latar belakang untuk sepetak tegalan. Ada pohon mangga dan rambutan.

Setiap pagi aku akan melepas suami dan anak sulungku yang hendak bekerja dan sekolah. Mengantar mereka sampai jalan depan rumah. Aku akan mengajak dan mengajari si bungsu yang masih dalam gendongan, melambaikan tangan saat mobil melaju. Dua anak kembarku akan berlari mengikuti mobil, berlari-lari kecil di belakangnya sampai mobil menghilang di ujung jalan.

Dulu, aku pernah bekerja di sebuah penerbitan. Namun setelah malaikat kecilku berjumlah lebih dari dua, aku memilih resign. Sekarang, aku hanya sesekali menerima pekerjaan freelance sebagai penerjemah. Inilah yang kulakukan sekarang. Mengurusi keluarga kecilku; memasakkan makanan favorit anak-anak dan Papa mereka; mnyetrika baju, menyiram tanaman; dan masih seabrek pekerjaan rumah lagi…

Bahagia. Di usia muda, punya suami, anak, dan rumah. Meski tak punya pekerjaan tetap, penghasilan masih tetap ada.

Hanya saja, seperti yang aku bilang sedari awal. Semua kebahagiaan itu hanya mimpi. Mimpi yang hanya singgah sebentar dalam tidurku. Saat aku terjaga, aku sadari satu hal. Mimpi itu, ia bukan manifestasi keinginan terdalamku. Ia ada dalam mimpiku, tapi bukan hal yang aku impikan. Bukan mimpiku. Ia mimpi makhluk-makhluk di luarku yang menuntut aku menjadi seperti itu. 

Mimpi itu, bisa saja ia milik ibu dan ayahku yang sudah tak sabar menggendong cucu. Mungkin juga mimpi pacar aku, yang sudah tidak sabar mengkavling aku sebagai Nyonya X. Menyandangkan namanya kepadaku.

Barangkali ia mimpi sauda-saudaraku. Mereka kelak akan kasihan, lebih-lebih malu, sekiranya dalam sejarah keluarga besar ada seseorang yang disebut-sebut sebagai perawan tua...


*pict from visualize



Thursday 13 June 2013

C++

Kalau dipikir-pikir, satu nilai C+ saja tidak begitu berpengaruh banyak mengubah IPK saya. Itu nilai juga tidak jelek-jelek amat.

Tapi saya pernah punya obsesi konyol; gak mau koleksi nilai C+ di transkrip nilai. Jadi saya bela-belain buat mengulang tiap mata kuliah yang nilainya kurang memuaskan.

Tadi saat ambil ijazah transkrip nilai, saya sedikit kecewa melihat masih ada satu C+ yang tidak saya inginkan nongol. Saya ingat betul, nilai terakhir setelah mengulang bukan itu.

Malas juga sih kalo harus komplain dan mengurus ulang transkrip saya. Orang itu cuma satu. IPK masih tetap cumlaude. Cuma, kalau tidak saya urus, rasanya sia-sia saja usaha saya sewaktu mengulang dulu...

*pict from visualizeus

Wednesday 5 June 2013

perempuan sendu...




Suaranya dalam, seperti datang dari ruang hati paling dalam, dari masa yang telah sangat purba. Tapi aku tak dapat membaca air mukanya. Tak mengerti apa yang sedang ingin dikabarkannya.

Ia terus bercerita. Aku mendengarkan.

Masa mudanya adalah kuncup bunga yang mekar mewangi. Ia, bukan gadis tercantik, bukan yang molek. Bukan yang biasa dibayangkan lelaki dalam fetis. Tapi kesalehan, intelektual, dan nasab bangsawan ada padanya. Ia anggun yang bersahaja. Tidak perlu kerling menggoda agar laki-laki berbondong-bondong datang melamarnya. Ia tak peduli itu.

Ia mencintai anak-anak. Ia menggandrungi berdiri di depan kelas, mengajar. Dunia ia mengabdikan hidup, dunia yang memberinya kebebasan di depan. Dunia yang membebaskannya dari dapur dan kasur.

Banyak pria datang mengetuk pintu hatinya. Tapi tak ada satu pun yang ia terima, sebab ia tidak berhak untuk itu. Ia tidak cerita, adakah di antara mereka, telah ia berikan hatinya.

Hidup, baginya, adalah ketaatan, kepatuhan. Lelaki yang berbagi kasur dengannya; yang memberikannya anak, bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu, yang dipilihkan ayah dan ibunya.    

Laras air mata menyusuri gelembur pipi. Tangannya gemulai mengurut lengan  yang pernah menamparnya.

Tatapan lelaki menembus matanya. Menciptakan jeda hening. Mungkin ada penyesalan dan permohonan maaf yang tersampaikan. Suatu permohonan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Agar ia tidak perlu berlama-lama sekarat di atas kasur rumah sakit dengan tubuh lumpuh, tak bersuara. Agar jalannya untuk kembali kepada Sang Pemilik tidak terhalang.

Apakah kamu mengerti apa itu cinta? Pernahkah kamu merasakannya?  Aku penasaran jawabnya, perempuan.

Ia mungkin saja tidak bahagia bersama lelaki yang tercatat dalam selembar kertas sebagai suaminya. Lelaki pemarah. Gajinya tidak seberapa untuk menghidupi perempuan ini. Lelaki yang menendangnya saat ia khusuk salat. Lelaki yang meniduri perempuan lain, sementara perempuan ini  menidurkan anak-anak di kamar belakang.  
Lelaki yang… semestinya ditinggalkan si perempuan.

Tapi perempuan ini tak mengenal kata lari. Ia hanya perempuan -perempuan beriman nan patuh. Hidup, baginya adalah ketaatan. Taat pada suami sebagaimana dianjurkan agamanya. Menjaga keutuhan keluarga, sebagaimana masyarakat menginginkannya.

Rumah tangga adalah pengorbanan dan pengabdian. Ia menahan diri, ia mengikhlaskan diri, seraya berharap; semoga segala yang telah dilewatinya adalah wujud bakti dan amal. Semoga berpahala baginya.

*pict from here


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...