Wednesday 5 June 2013

perempuan sendu...




Suaranya dalam, seperti datang dari ruang hati paling dalam, dari masa yang telah sangat purba. Tapi aku tak dapat membaca air mukanya. Tak mengerti apa yang sedang ingin dikabarkannya.

Ia terus bercerita. Aku mendengarkan.

Masa mudanya adalah kuncup bunga yang mekar mewangi. Ia, bukan gadis tercantik, bukan yang molek. Bukan yang biasa dibayangkan lelaki dalam fetis. Tapi kesalehan, intelektual, dan nasab bangsawan ada padanya. Ia anggun yang bersahaja. Tidak perlu kerling menggoda agar laki-laki berbondong-bondong datang melamarnya. Ia tak peduli itu.

Ia mencintai anak-anak. Ia menggandrungi berdiri di depan kelas, mengajar. Dunia ia mengabdikan hidup, dunia yang memberinya kebebasan di depan. Dunia yang membebaskannya dari dapur dan kasur.

Banyak pria datang mengetuk pintu hatinya. Tapi tak ada satu pun yang ia terima, sebab ia tidak berhak untuk itu. Ia tidak cerita, adakah di antara mereka, telah ia berikan hatinya.

Hidup, baginya, adalah ketaatan, kepatuhan. Lelaki yang berbagi kasur dengannya; yang memberikannya anak, bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu, yang dipilihkan ayah dan ibunya.    

Laras air mata menyusuri gelembur pipi. Tangannya gemulai mengurut lengan  yang pernah menamparnya.

Tatapan lelaki menembus matanya. Menciptakan jeda hening. Mungkin ada penyesalan dan permohonan maaf yang tersampaikan. Suatu permohonan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Agar ia tidak perlu berlama-lama sekarat di atas kasur rumah sakit dengan tubuh lumpuh, tak bersuara. Agar jalannya untuk kembali kepada Sang Pemilik tidak terhalang.

Apakah kamu mengerti apa itu cinta? Pernahkah kamu merasakannya?  Aku penasaran jawabnya, perempuan.

Ia mungkin saja tidak bahagia bersama lelaki yang tercatat dalam selembar kertas sebagai suaminya. Lelaki pemarah. Gajinya tidak seberapa untuk menghidupi perempuan ini. Lelaki yang menendangnya saat ia khusuk salat. Lelaki yang meniduri perempuan lain, sementara perempuan ini  menidurkan anak-anak di kamar belakang.  
Lelaki yang… semestinya ditinggalkan si perempuan.

Tapi perempuan ini tak mengenal kata lari. Ia hanya perempuan -perempuan beriman nan patuh. Hidup, baginya adalah ketaatan. Taat pada suami sebagaimana dianjurkan agamanya. Menjaga keutuhan keluarga, sebagaimana masyarakat menginginkannya.

Rumah tangga adalah pengorbanan dan pengabdian. Ia menahan diri, ia mengikhlaskan diri, seraya berharap; semoga segala yang telah dilewatinya adalah wujud bakti dan amal. Semoga berpahala baginya.

*pict from here


6 comments:

  1. yang seperti ini... beneran ada lho #tepokjidat

    btw tulisannya apik :3

    ReplyDelete
  2. kalau agama lelaki itu sudah hancur, boleh bercerai menurutku

    cmmiw

    ReplyDelete
  3. mungkin belum ada yang bener2 mengetuk hati'a, dan semoga benar-bener sesuai harapan.

    ReplyDelete
  4. mesti dikirim ke media cetak tuh. mari kita terus berlatih menulis

    ReplyDelete
  5. saya jadi kepikiran....
    btw bagus nulisnya :)

    ReplyDelete

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...