Tuesday 21 February 2012

Tahayad Panggil Pulang


Ingin ke mana?

Kalau sedang diam di tempatmu, kamu mungkin ingin pergi ke suatu tempat yang mungkin belum pernah kau lihat, kunjungi. Mungkin juga ke suatu tempat yang mungkin pernah kau kunjungi. Dan kau ingin mengulang kenangan.

Tapi bagaimana kalau kau sedang pergi, berjarak dari tempatmu? Apakah kau ingin terus pergi lagi?

Ingin ke mana?

Aku tidak ingin pulang saat ini. Tapi aku ingin kembali, mengunjungi tempat yang selalu jadi rumah untukku. Rumahku adalah Tahayad, orang-orang kadang menyebutnya Tayando.  Tempat leluhurku dilahirkan.

Kepulauan kecil jauh di timur sana. Termasuk dalam teritorial Kota Tual, Maluku. Aku tidak dilahirkan di Tahayad, juga tidak di besarkan di sana. Aku lahir dan besar di Tual, beberapa jam perjalanan laut dari Tahayad. Sejak berumur 10 tahun bersekolah di pulau Jawa.

Meskipun begitu, tubuhku mengalir pasir dan laut tanah Tahayad.

Tahayad, ada tiga kampung; Yamru, El, dan Yamtel. Yamru dan El bertetangga dalam satu pulau, sedang Yamtel di pulau terpisah. Ayahku berasal dari Yamru, sedang mama dari Yamtel. Kami sekeluarga, jarang pulang kampung. Seingatku, hanya beberapa kali kami pulang. Saat liburan panjang waktu TK dan Kerusuhan Maluku tahun 98-99. aku masih duduk di bangku kelas dua SD.

Tahun 98, peperangan melanda Maluku. Peperangn atas nama agama. Mulanya hanya di Ambon, tapi merambat ke daerah-daerah seberang, Tual salah satunya.

Saat-saat genting seperti itu, kamu akhirnya mengungsi, oh bukan, kami akhirnya pulang ke Tahayad. Rumah leluhur yang selalu terbuka. Rumah yang selalu memberi keteduhan saat kamu merasa resah, tak nyaman. Di sini, semua penduduk asli beragama islam, begitu pula pendatang yang hanya seberapa. Aku bebas bermain di luar rumah tiap hari. Tanpa perlu takut diserang tiba-tiba. Setiap malam aku bisa tidur nyenyak. Tanpa harus menyelipkan pisau di bawah kasur atau bantal; khawatir jika ada musuh yang datang. Peperangan yang tak jelas sebabnya, berhasil membuat orang jadi paranoid kala itu.

Tahayad, di atas pasir putih yang membentang, di sela-sela pepohonan kelapa, di bawah sengat sinar mentari, dan belaian angin pantai, aku mendengar ombak membisikkan pesan damai.

Bulan dan Bintang

Dalam kenangan masa kecilku, Tahayad pulau yang lumayan luas. Akan tetapi, pemukiman hanya dibangun di tepi pantai, di atas pepasiran putih. Dengan rumah-rumah menghadap laut. Para lelaki tiap malam pergi melaut, menjaring ikan. Sedang perempuan di rumah menyiapkan ambal babuhuk -makanan pokok dari olahan singkong- yang masih hangat. Nantinya dimakan dengan ikan yang baru saja ditangkap. Aku selalu yakin dan bangga menyanyikan: nenek moyangku seorang pelaut…

Tidak banyak kenangan yang aku punya, kecuali masa kerusuhan itu. Ada hikmahnya juga, setidaknya aku bisa sedikit lebih lama menetap di Tahayad.

Seingatku, jangkauan PLN belum mencapai kampung. Rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak atau lampu gas. Hanya saudagar atau orang-orang bugis pedagang yang punya listrik di rumahnya. Aku ingat, di depan rumah tete --kakek-- di Yamtel ada rumah keluarga bugis, almarhum Haji Halim. Di rumahnya ada lampu menyala, ada televisi dilengkapi parabola yang selalu dinyalakan tiap malam. Biasanya dibawa ke teras toko mereka, orang-orang kampung sering nonton bareng di jalan antara rumah mereka dan rumah tete. Oh ya, di kampung, tidak ada rumah berpagar, apalagi pagar tinggi dari beton atau besi seperti rumah-rumah di kota.

Meski tak ada listrik, bukan berarti kampung jadi gelap gulita. Aku tahu, karena pasir yang aku pijak masih berwarna putih, memantulkan sinar bulan dan bintang di atas langit sana. Ya, bulan dan bintang. Begitu dekat, begitu terang. Sesuatu yang sudah lama terlupa. Saat sendirian dalam gelap, di jalan depan kos waktu mati lampu bergilir, aku kembali melihat bulan begitu dekat. Dan aku merasa seperti terbawa kembali ke sebuah dimensi ruang dan waktu; Tahayad.

Arisan Anak

Tak ada listrik, tak ada saluran telepon, dan juga tak ada toilet!

Haha, tapi itu bukan masalah, sus. Karena bagiku yang saat itu masih kecil, semuanya selalu menyenangkan. Acara buang hajat bisa jadi arisan yang menyenangkan. 

Pernah ngobrol sama teman waktu lagi -maaf- pup? Dulu sih sering. Seusai subuh, para sepupuku biasanya datang mengetuk jendela kamar dan membangunkanku agar ke pantai bersama. Mengajak pergi melakukan hajat besar yang sudah ditahan sejak semalam. Saat pagi, air laut masih surut, dan kami, gerombolan anak-anak kecil berjalan mencari ceruk-ceruk air di tengah laut yang sedang surut. Duduk melingkar dan hmmm, buang hajat sambil gantian menceritakan mimpi tadi malam. Kadang-kadang juga mengatur rencana strategi permainan di siang hari nanti. Seru dah.

Seusai buang hajat, biasanya kami tidak langsung pulang, tapi bermain-main dulu. Mencari ubur-ubur dan bia atau kut yau -kerang- untuk main masak-masakan.

Kalau laut sedang pasang, lebih gampang lagi kalau mau buang hajat. Dulu, keramba omku ada yang sengaja dipasang hanya beberapa meter dari pantai, airnya tidak seberapa tinggi. Kami, ponakan-ponakan usil, sering duduk di tepiannya. Tentu saja sedang buang hajat. Sambil mengamati ikan-ikan pada berebutan kotoran kami, lantas tertawa terbahak-bahak. Senang rasanya bisa mengerjai ikan-ikan itu. Lalu saat makan siang, kami mungkin saja tidak tahu, kalau ikan bakar di atas nasi kami diambil dari keramba milik om.

Love you, Nene

Nene -nenek-, hanya ada dalam kenanganku. Sebab sejak pasca kerusuhan aku selalu tidak punya kesempatan untuk bertemu nene Kam, ibu ayahku, hingga akhir hayatnya. Waktu dan jarak memisahkan. Dan kematian memperjelasnya. Aku tidak sempat melihat untuk terakhir kali. Aku tidak pernah bilang aku sayang nene. Aku belum bisa membelikan tembakau untuk nyirih. Aku belum bisa membelikannya kebaya baru. Namun, aku selalu mengingatnya, sebagai nene tersayang. Al Fatihah buat nene…

Dari Yamtel, aku dipindahkan ke Yamru. Dijemput ayah dan diantarkan sepupu-sepupuku. Kami naik sampan bersama-sama.

Di Yamru, aku tinggal berdua dengan nene. Suasana di Tual mulai membaik. Mama, adik, dan Ayah sudah lebih dulu ke Tual. Sementara aku dititipkan pada nene

Nene sudah tua sekali. Untuk keperluan sehari-hari, ia menjual kopi tumbuk yang diolah dari biji kopi di ladang. Nenek punya banyak pohon kelapa. Buahnya yang jatuh dan tua, dipungut nene untuk dibawa pulang. Terkadang bapa pulang kampung, memanjat kelapa, buahnya kemudian dijadikan kopra untuk bahan minyak goreng atau mentega. Kalau kopra sudah banyak, diangkut ke tual dan dijual ke tengkulak.

Kadang, dari kelapa yang terkumpul, nene menyuruhku membawa kelapa-kelapa tersebut ke warung-warung untuk ditukarkan dengan jajan atau mainan. Tak ada uang, barter pun jadi.

Nene selalu ingin membuatku senang dan betah di kampung. Kalau adik ayahku tidak sempat mengirim hasil tangkapan ikan kerumah, nene mengajakku ke pantai saat air pasang. Menggali-gali pasir mencari bia-bia kecil yang tersembunyi. Aku suka menggali-gali pasir. Aku suka bia yang direbus nene. Meski cuma digarami dan diberi sedikit bawang merah dan bawang putih, bia-nya lezat sekali. Apa lagi dimakan dengan nasi yang masih hangat, Hmmm, slurrrp.


Entah kapan aku bisa kembali…

No comments:

Post a Comment

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...