Thursday 7 April 2011

Nenek tua; Anak laki dan perempuan.


Dia telah pergi, semoga dengan tenang. Semoga dia tahu betapa aku juga menyayanginya. Meski mungkin mendendamnya.

 

Karena kau sudah disana, dan aku belum sempat mengatakannya. Lewat puisi ini aku ingin kau tahu. Siapa yang merawatmu saat kau gila dan pikun? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.
Bajumu yang menyebarkan bau busuk, tinja berceceran di dalam kamar, serta tubuh penuh koreng. Siapa yang bersihkan? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.
Lapar, haus, mandi, tidur. Siapa yang layani? Anak perempuanmu, serta anak-anaknya.

 

Saat kau pikun dan tak waras, sepertinya tidak sempat tercatat rapi dalam memori. Jadi aku akan membantumu untuk mengingatnya. (aku tidak sedang menumpahkan marah)
Perempuan-perempuan yang selalu kau marahi, jatah makannya sering kau berikan pada anak laki-laki. Menurutmu, laki-laki itulah darah dagingmu, akan selalu menjagamu. Yang perempuan, akan jadi milik orang lain, untuk apa dihidupkan?

 

Kau tahu? Ah, sudah jelas tidak. Mungkin ketika lelakimu masih kecil, muda, bujang, mereka selalu pulang padamu. Minta makan, dicucikan baju, dan barangkali sedikit duit.

 

Tapi ketika perempuan lain hadir dalam hidup mereka, kau bukan siapa-siapa lagi. Dibanding perempuan serupa ratu di mata mereka. Ya, istri mereka itu. Hah.... Belum lagi dengan boneka-boneka kecil karya persatutubuhan mereka. Kau semakin terpinggir. Perempuan tua, tugasmu menemani boneka-boneka mereka. Bilaperlu juga ikut membersihkan rupa, kalo si ratu tidak sempat. Mencucikan baju boneka-boneka, sebagai penyayang anak dan anak-anaknya.

 

Oh, tidak. Itu mungkin masih mendingan. Lihat, dengan kondisimu seperti itu, pikun, koreng sekujur tubuh, kadang-kadang gila. Jelas lelakimu enggan menerima. Takut menular pada ratu-ratu mereka, apalagi boneka-boneka kecil, lucu, imut, dan menggemaskan. Tamatlah sudah. Kemana lagi kau hendak berlabuh, jika tidak pada perempuan-perempuanmu.

 

Air mata menyusuri pipi, suara tersedak. Sumpah, betapa pedih menyaksikan tubuh dan jiwamu yang makin membayi. Perempuan-perempuanmu lah, membelaimu seolah boneka kecil yang tak pernah kauberikan pada selama hidupnya.

 

Bila akhirnya puisi ini sampai padamu, entah dengan cara apa. Tak perlu kau sesali. Sumpah, aku tidak ingin mebuatmu merasa bersalah.

No comments:

Post a Comment

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...