Saturday 31 March 2012

Informasi, Antara UU Intelijen dan Pers


Jimmy Carter, mantan presiden AS, pernah ditanya soal fungsi informasi bagi politisi dan wartawan. Ia menjawab, “Ketika Anda memiliki kekuasaan, Anda akan menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kepemimpinan Anda. Namun kalau Anda wartawan, Anda menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka sendiri.”



Begitulah bunyi sms yang dikirim seorang kawan sekitar satu atau dua tahun lalu. Tapi saya masih ingat betul. Saya juga menyadari betul kebenaran kata-kata Carter. Informasi bagi politisi bisa jadi wadah untuk menggaet orang banyak agar melanggengkan kekuasaannya. Apalagi kalau politisi tersebut menguasai informasi. Wah, bahaya. Seperti rezim orde baru, TVRI dan RRI sebagai aset Negara, sebagai media publik malah jadi corong pemerintah. Media-media yang tidak sejalan, tinggal bredel saja. 

 UU Intelijen yang disahkan pada 2011 lalu, dinilai banyak orang terlalu premature dan tidak jelas. Pada januari 2012, Tim ADvokasi yang terdiri dari perwakilan berbagai elemen seperti IMPARSIAL, ELSAM, AJI, dan lainnya mengajukan permohonan pengujian UU Intelijen ini . Bagi saya, UU ini semacam kegelisahan politisi-politisi di atas sana, yang duduk asyik di DPR. Meski degan mengatasnamakan keamanan nasional, saya tidak yakin, ini lebih tepat jika disebut sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

Dengan lahirnya UU Intelijen, gaya pemerintahan orde baru berpretensi muncul kembali. Orde baru yang represif, sampa-sampai banyak kejadian penghilangan orang secara paksa. Bagaimana tidak, dalam pasal 31 disebutkan bahwa Badan Intelijen Negara memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi atas kegiatan-kegiatan yang diduga mengganggu stabilitas keamanan nasional, termasuk ideologi politik, budaya, bahkan pendidikan. Juga kegiatan yang diduga terkait terorisme, sparatis atau spionase. Tidak jelas kegiatan yang dimaaksud di atas seperti apa, apa itu terorisme, siapa yang disebut sparatis. Semuanya adalah hasil tafsiran pemerintah atau khususnya badan inetlijen. Informasi yang diperoleh intelijen akan sangat mempengaruhi nasib perorangan atau serikat tertentu yang telah dicurigai.

Masyarakat awam bisa saja jadi korban salah satu yang dianggap intelijen akan menganggu keamanan. Santri-saantri Abu Bakar Ba’asyir contohnya, mereka yang di Solo sana mungkin disadap kegiatannya lantaran ustadz mereka tersangka teroris, dan mereka diduga juga belajar menjadi mujahid di pesantren tersebut. Atau, orang-orang di Papua sana. Bias saja setiap rumah ada intel yang menyusup, karena Negara takut separatis menjamur di Papua.

Kalau begini, jelas, pemerintah dalam hal ini, bukan sedang ingin menjaga stabilitas Negara, tapi sedang ingin mengontrol rakyatnya. Ideologi apa yang kita pegang teguh, agama mana yang kita yakini, atau di mana kita berserikat, sejatinya adalah hak individu tiap warga Negara. Hak asasi. Pemerintah tidak berhak untuk melarang warganya, tapi memata-matai, menyadap, dan kegiatan pencurian informasi lainnya yang dinamakan kegiatan intelijen itu juga tidak tepat dan bijak.

Lain halnya dengan pers. Seorang wartawan seperti yang disebutkan Carter di awal, informasi yang disuguhkan dari masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat banyak. Informasi disebarluaskan guna membantu masyarakat menentukan sikap.

Wartawan selalu ingin tahu apa saja, dan ingin memuaskan hasrat orang banyak, tapi wartawan memiliki kode etik yang jelas. Wartawan, dalam tugasnya menghargai hak asasi dan privasi orang. Wartawan harus memisahkan, antara publik atau privasi. Mana urusan publik yang perlu diberitakan, mana urusan privasi yang tidak perlu diberitakan.

Contoh kasus, SBY dan ibu Ani misalnya, pers berhak untuk memberitakan kegiatan kenegaraan mereka, seperti melawat ke negri ini, mengunjungi daerah, itu, atau meresmikan kegiatan anu, segala yang terkait dengan Negara. Tapi, pers tidak berhak dan tidak etis mengusik kehidupan pribadi mereka seperti yang sempat santer beberapa tahun lalu. Dimana SBY dan Ani dikabarkan telaah menikah sejak SBY masih perwira. Yah, mereka berdua memang bapak dan ibu Negara saat ini, tapi apa hubungannya masa lalu pernikahan mereka dengan Negara ini?

Begitulah kiranya wartawan dan politisi. Sekiranya informasi ada di tangan Anda, pilih mau jadi apa, wartawan atau politisi?

No comments:

Post a Comment

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...