Friday, 13 April 2012

Cantik = Penjajahan?


Coba perhatikan wajah-wajah di layar televisi anda akhir-akhir ini. Ada banyak sekali wajah-wajah putih bersih, tinggi semampai, berambut lurus. Cantik. Hadir dalam berbagai bentuk. Presenter, bintang film, aktris sinetron, model, penyanyi, bintang iklan. Mereka hadir setiap hari di berita, gosip, talkshow, pentas musik, sinetron, dan beragam acara lainnya. Selain cantik, posisi mereka sebagi selebritis membuat mereka populer. Selebritis; mungkin ini kata yang tepat untuk pekerja seni tersebut.
Belum pernah ada riset atau sensus mengenai hal ini, tapi perhatikan sekali lagi layar televisi Anda; kebanyakan selebritis tersebut berdarah campuran. Sebut saja Cinta Laura (Jerman-Indonesia), Yuki Kato (Jepang-Indonesia), Nabila Syakib (Arab) Sandra Dewi (Tionghoa ) dan beberapa nama lain seperti Dewi Sandra, Tamara Blezinsky, Marisa Nasution dan yang lainnya.
Lantas kenapa jika banyak wajah perempuan-perempuan berdarah campuran di televisi? Menurut Naomi Wolf, perempuan entah itu yang putih, hitam, atau sawo matang memiliki persepsi yang sama mengenai kriteria kecantikan. Prototipe kecantikan ini bisa ditemui di tubuh seorang model: tinggi, kurus, berambut lurus, wajah bebas jerawat –tanpa noda, dan tentu saja hidung mancung. Sangat eropasentris.
Kriteria cantik seperti ini jarang ditemukan dalam tubuh perempuan indonesia yang ayah ibunya orang melayu. Kecuali yang terlahir dari percampuran ras. Kecantikan mereka dianggap mewakili standar kecantikan eropasentris, sehingga kemudian yang kita temui hari ini adalah menjamurnya wajah-wajah ala luar negri di berbagai program televisi.
Keturunan Arab atau Tionghoa dalam hal ini, meskipun bukan Eropa, tapi kulit mereka yang lebih terang dari orang indonesia umumnya kemudian disejajarkan dengan kelompok keturunan Eropa. Yang bukan Indonesia, selalu lebih menarik.
Asumsi kecantikan ini tak bisa lepas dari sejarah penjajahan dan imperialisme di berbagai belahan dunia seperti Afrika, India, Malaysia dan Indonesia. Indonesia pernah dijajah belanda selama 350 tahun, buka waktu yang singkat. Belanda tidak hanya menjarah kekayaan alam dan memperbudak bangsa Indonesia, secara fisik, melainkan juga secara psikis.
Edward Said dengan berpijak pada teori Michel Foucault mengenai relasi kuasa/pengetahuan menganalis kerja orientalis. Orientalisme adalah kajian budaya, bahasa, dan lainnya. Beas nila da objektif. Nyatanya, pengetahuan ini kemudian digunakan eropa sebagai sarana melanggengkan kekuasaan. Menanamkan cengkramannya lebih dalam.
Eropa, penjajah lantas merasa superior, sedang yang dijajah inferior. Tidak berpendidikan, dekaden, dan tidak berbudaya. Sehingga mereka merasa perlu melakukan usaha balas budi yang diprakarsai lewat pendidikan, penanaman pengetahuan bahwa yang ala Eropa ini lah yang baik. Mitos kecantikan yang kita warisi saat ini, merupakan salah satu artefak sejarah; Eropa (masih)berkuasa di sini. Orang-orang kemudian berlomba-lomba menjadi seperti Eropa; merayakan mimikri, meniru false identity. Kita kemudian jadi asing dengan budaya kita sendiri.
Semasa penjajahan pernah ada pembagian masyarakat menurut hukum Belanda yang terdiri atas;
a. golongan Eropa;
b. golongan keturunan Eropa;
c. golongan Timur Asing;
d. golongan Bumiputera
Pembagian kelas jelas menunjukkan adanya diskriminasi ras, dimana yang kulit putih jauh lebih tinggi dari berwarna. Dampaknya bukan dalam persoalan hukum semata, tapi juga secara sosio-kultural. Tokoh Samsul Bahri dalam roman Siti Nurbaya contohnya, memilih menjadi opsir Belanda. Sebab bekerja pada Belanda lebih terhormat. Seolah-olah dirinya adalah Belanda itu sendiri.
Menyoal kecantikan, Hanafi yang diceritakan dalam Salah Asuhan karya Marah Rusli tergila-gila kepada noni Belanda, Corrie. Ia lebih mencintai Corrie yang putih, berbudaya dan terpelajar dibanding gadis pilihan ibunya. Rapiah. Gadis kampung yang tidak bisa menata rumah dan memasak ala orang Belanda.
Hari ini, ketika televisi kemudian marak menampilkan wajah-wajah keturunan, suatu indikasi bahwa pengaruh penjajahan masih menghegemoni bangsa ini. Persis seperti yang dikatakan Leela Gandhi, salah seorang tokoh poskolonial, bahwa relasi penjajah-dijajah adalah hubungan hegemonik. Prabosmoro dalam analisisnya atas iklan sabun yang dibintangi artis berdarah campuran mengungkapkan bahwa tubuh model-model tersebut telah dipakai sebagai representasi perempuan kulit putih.
Semakin sering wajah-wajah selebritis ini digembar-gemborkan, semakin terhegemonilah kita. Krisis identitas sedang berlangsung. kita semakin tercerabut dari akarnya. Sementara kita sama sekali tak sadar.
Program televisi yang persuasif menyebarkan standar kecantikan adalah iklan-iklan tubuh dan wajah. Iklan sabun, losion, facial foam, menjanjikan kulit putih mulus. Penggambarannya dengan seorang bintang iklan yang awalnya berkulit gelap, jadi putih selama memakai produk tertentu.
Jangan heran jika kelak Anda menemui orang-orang serupa bule di jalanan, pasar, stasiun, atau di mana saja. Anda mungkin terkejut, teman yang dulu hitam, sekarang lebih terang kulitnya. Krim pemutih sedang laris memang, salon dan dokter kecantikan pun begitu. Injeksi pemutih jika tak ingin repot.
Perempuan-perempuan di Bima pernah diberitakan gencar melakukan rebonding agar dapat memiliki rambut lurus. Sedang istilah buceri muncul sebagai penanda orang yang mengecat warna rambutnya menjadi pirang, blonde, merah. BUle Cat sEndiRI.
Suatu ketika, saya memergoki keponakan perempuan sedang bermain bedak. Bedak tersebut ditaburkan keseluruh tubuh. Di kaki, lengan. Penampilannya persis seperti tikus kecemplung tepung. “Ini biar putih, cantik...” jawab si kecil, saat itu masih TK, ketika ditanya. Anak kecilpun sudah terpengaruh. Cantik = Putih.
Lagi-lagi, seperti Hanafi dan Samsul, perempuan Indonesia terperangkap dalam mimikri. Hasilnya, mitos cantik adalah kulit putih tak sekadar diamini, sayangnya juga dihayati dalam laku.
Bukan bermaksud untuk menghakimi selebritis, toh mereka juga korban dari sistem yang membelenggu. Mereka korban, masyarakat juga korban. Sama-sama tidak menyadari kekuatan besar berupa belenggu ideologi kulit putih, Eropa. Satu hal yang pasti; penjajahan masih berlanjut.

Referensi
            Ashcroft, Bill, etc.2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: teori dan Praktik Sastra Kolonial. Yogyakarta: Qalam
            Gandhi, Leela. 2001.Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam.
            Prabosmoro, Aquarini Prayitna. 2003. Becoming White: Representasi Ras, kelas, Feminitas dan Globalitas dalam iklan Sabun. Bandung: Jalasutra
            Sardar, Ziauddin and Borin Van Loon. 2005. Seri Mengenal dan Memahami Cultural Studies. Jakarta: Scientific Press
Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara.

2 comments:

  1. mbak maaf gak relevan ama postingannya..
    tapi layoutnya jadi bikin tulisan mbak susah kebaca..
    masa tulisan item backgroundnya juga item..
    ganti ya mbak.. aku mau baca juga soalnya.. :D

    ReplyDelete
  2. terimakasih arif...

    gak tahu kenapa berubah warna font-nya. biasanya otomatis.

    sekarang sudah diganti kuk..:) selamat membaca.

    ReplyDelete

silakan tinggalkan jejak. agar aku tahu kamu di sana.

komentar akan muncul setelah disetujui.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...