Sunday 26 February 2012

Hapus make up-mu!

trims cada, gambarnya aku pinjam


Bedak putih tebal
Sedikit blush on merah di sekitar tulang pipi
Untuk lipstiknya, pink saja.
Biar terlihat natural
Tak lupa pakai maskara;
Hm, aku baru tahu kalo itu bulu
Mata dikeriting
Wajahmu  cantik, sayang

:Sempurna dengan segala  make up

Aku penasaran,
Seperti apatah rona kulit di sebalik topengmu, sayang

Tuesday 21 February 2012

cerita yang sekarat


Cerita kita terlalu sekarat, kasih

Kisah ini slalu susah payah kau hapus alurnya.

Tak bisakah kau mengenangnya?

Kau boleh meniadakan aku
Tapi tolong, jangan cerita ini

Tahayad Panggil Pulang


Ingin ke mana?

Kalau sedang diam di tempatmu, kamu mungkin ingin pergi ke suatu tempat yang mungkin belum pernah kau lihat, kunjungi. Mungkin juga ke suatu tempat yang mungkin pernah kau kunjungi. Dan kau ingin mengulang kenangan.

Tapi bagaimana kalau kau sedang pergi, berjarak dari tempatmu? Apakah kau ingin terus pergi lagi?

Ingin ke mana?

Aku tidak ingin pulang saat ini. Tapi aku ingin kembali, mengunjungi tempat yang selalu jadi rumah untukku. Rumahku adalah Tahayad, orang-orang kadang menyebutnya Tayando.  Tempat leluhurku dilahirkan.

Kepulauan kecil jauh di timur sana. Termasuk dalam teritorial Kota Tual, Maluku. Aku tidak dilahirkan di Tahayad, juga tidak di besarkan di sana. Aku lahir dan besar di Tual, beberapa jam perjalanan laut dari Tahayad. Sejak berumur 10 tahun bersekolah di pulau Jawa.

Meskipun begitu, tubuhku mengalir pasir dan laut tanah Tahayad.

Tahayad, ada tiga kampung; Yamru, El, dan Yamtel. Yamru dan El bertetangga dalam satu pulau, sedang Yamtel di pulau terpisah. Ayahku berasal dari Yamru, sedang mama dari Yamtel. Kami sekeluarga, jarang pulang kampung. Seingatku, hanya beberapa kali kami pulang. Saat liburan panjang waktu TK dan Kerusuhan Maluku tahun 98-99. aku masih duduk di bangku kelas dua SD.

Tahun 98, peperangan melanda Maluku. Peperangn atas nama agama. Mulanya hanya di Ambon, tapi merambat ke daerah-daerah seberang, Tual salah satunya.

Saat-saat genting seperti itu, kamu akhirnya mengungsi, oh bukan, kami akhirnya pulang ke Tahayad. Rumah leluhur yang selalu terbuka. Rumah yang selalu memberi keteduhan saat kamu merasa resah, tak nyaman. Di sini, semua penduduk asli beragama islam, begitu pula pendatang yang hanya seberapa. Aku bebas bermain di luar rumah tiap hari. Tanpa perlu takut diserang tiba-tiba. Setiap malam aku bisa tidur nyenyak. Tanpa harus menyelipkan pisau di bawah kasur atau bantal; khawatir jika ada musuh yang datang. Peperangan yang tak jelas sebabnya, berhasil membuat orang jadi paranoid kala itu.

Tahayad, di atas pasir putih yang membentang, di sela-sela pepohonan kelapa, di bawah sengat sinar mentari, dan belaian angin pantai, aku mendengar ombak membisikkan pesan damai.

Bulan dan Bintang

Dalam kenangan masa kecilku, Tahayad pulau yang lumayan luas. Akan tetapi, pemukiman hanya dibangun di tepi pantai, di atas pepasiran putih. Dengan rumah-rumah menghadap laut. Para lelaki tiap malam pergi melaut, menjaring ikan. Sedang perempuan di rumah menyiapkan ambal babuhuk -makanan pokok dari olahan singkong- yang masih hangat. Nantinya dimakan dengan ikan yang baru saja ditangkap. Aku selalu yakin dan bangga menyanyikan: nenek moyangku seorang pelaut…

Tidak banyak kenangan yang aku punya, kecuali masa kerusuhan itu. Ada hikmahnya juga, setidaknya aku bisa sedikit lebih lama menetap di Tahayad.

Seingatku, jangkauan PLN belum mencapai kampung. Rumah-rumah hanya diterangi lampu minyak atau lampu gas. Hanya saudagar atau orang-orang bugis pedagang yang punya listrik di rumahnya. Aku ingat, di depan rumah tete --kakek-- di Yamtel ada rumah keluarga bugis, almarhum Haji Halim. Di rumahnya ada lampu menyala, ada televisi dilengkapi parabola yang selalu dinyalakan tiap malam. Biasanya dibawa ke teras toko mereka, orang-orang kampung sering nonton bareng di jalan antara rumah mereka dan rumah tete. Oh ya, di kampung, tidak ada rumah berpagar, apalagi pagar tinggi dari beton atau besi seperti rumah-rumah di kota.

Meski tak ada listrik, bukan berarti kampung jadi gelap gulita. Aku tahu, karena pasir yang aku pijak masih berwarna putih, memantulkan sinar bulan dan bintang di atas langit sana. Ya, bulan dan bintang. Begitu dekat, begitu terang. Sesuatu yang sudah lama terlupa. Saat sendirian dalam gelap, di jalan depan kos waktu mati lampu bergilir, aku kembali melihat bulan begitu dekat. Dan aku merasa seperti terbawa kembali ke sebuah dimensi ruang dan waktu; Tahayad.

Arisan Anak

Tak ada listrik, tak ada saluran telepon, dan juga tak ada toilet!

Haha, tapi itu bukan masalah, sus. Karena bagiku yang saat itu masih kecil, semuanya selalu menyenangkan. Acara buang hajat bisa jadi arisan yang menyenangkan. 

Pernah ngobrol sama teman waktu lagi -maaf- pup? Dulu sih sering. Seusai subuh, para sepupuku biasanya datang mengetuk jendela kamar dan membangunkanku agar ke pantai bersama. Mengajak pergi melakukan hajat besar yang sudah ditahan sejak semalam. Saat pagi, air laut masih surut, dan kami, gerombolan anak-anak kecil berjalan mencari ceruk-ceruk air di tengah laut yang sedang surut. Duduk melingkar dan hmmm, buang hajat sambil gantian menceritakan mimpi tadi malam. Kadang-kadang juga mengatur rencana strategi permainan di siang hari nanti. Seru dah.

Seusai buang hajat, biasanya kami tidak langsung pulang, tapi bermain-main dulu. Mencari ubur-ubur dan bia atau kut yau -kerang- untuk main masak-masakan.

Kalau laut sedang pasang, lebih gampang lagi kalau mau buang hajat. Dulu, keramba omku ada yang sengaja dipasang hanya beberapa meter dari pantai, airnya tidak seberapa tinggi. Kami, ponakan-ponakan usil, sering duduk di tepiannya. Tentu saja sedang buang hajat. Sambil mengamati ikan-ikan pada berebutan kotoran kami, lantas tertawa terbahak-bahak. Senang rasanya bisa mengerjai ikan-ikan itu. Lalu saat makan siang, kami mungkin saja tidak tahu, kalau ikan bakar di atas nasi kami diambil dari keramba milik om.

Love you, Nene

Nene -nenek-, hanya ada dalam kenanganku. Sebab sejak pasca kerusuhan aku selalu tidak punya kesempatan untuk bertemu nene Kam, ibu ayahku, hingga akhir hayatnya. Waktu dan jarak memisahkan. Dan kematian memperjelasnya. Aku tidak sempat melihat untuk terakhir kali. Aku tidak pernah bilang aku sayang nene. Aku belum bisa membelikan tembakau untuk nyirih. Aku belum bisa membelikannya kebaya baru. Namun, aku selalu mengingatnya, sebagai nene tersayang. Al Fatihah buat nene…

Dari Yamtel, aku dipindahkan ke Yamru. Dijemput ayah dan diantarkan sepupu-sepupuku. Kami naik sampan bersama-sama.

Di Yamru, aku tinggal berdua dengan nene. Suasana di Tual mulai membaik. Mama, adik, dan Ayah sudah lebih dulu ke Tual. Sementara aku dititipkan pada nene

Nene sudah tua sekali. Untuk keperluan sehari-hari, ia menjual kopi tumbuk yang diolah dari biji kopi di ladang. Nenek punya banyak pohon kelapa. Buahnya yang jatuh dan tua, dipungut nene untuk dibawa pulang. Terkadang bapa pulang kampung, memanjat kelapa, buahnya kemudian dijadikan kopra untuk bahan minyak goreng atau mentega. Kalau kopra sudah banyak, diangkut ke tual dan dijual ke tengkulak.

Kadang, dari kelapa yang terkumpul, nene menyuruhku membawa kelapa-kelapa tersebut ke warung-warung untuk ditukarkan dengan jajan atau mainan. Tak ada uang, barter pun jadi.

Nene selalu ingin membuatku senang dan betah di kampung. Kalau adik ayahku tidak sempat mengirim hasil tangkapan ikan kerumah, nene mengajakku ke pantai saat air pasang. Menggali-gali pasir mencari bia-bia kecil yang tersembunyi. Aku suka menggali-gali pasir. Aku suka bia yang direbus nene. Meski cuma digarami dan diberi sedikit bawang merah dan bawang putih, bia-nya lezat sekali. Apa lagi dimakan dengan nasi yang masih hangat, Hmmm, slurrrp.


Entah kapan aku bisa kembali…

Saturday 18 February 2012

Laskar hijau lagi







cat: makasih ya mas Hendri, udah mau jadi juru foto selama perjalanan...

(akhirnya bisa muncul juga. mau unggah foto ajah susah banget, galat mulu)

i know



cat: yg py gambar ini,,, trims dan maaf, gambarnya saya tambahin kata2 gak jelas. hehe

Tuesday 14 February 2012

(ingin) Mengarang takdir


Apa ini yang disebut takdir?
Inikah nasib?

Detik ini ia mempertemukan kita
Membuat kita bersitatap penuh mesra
Senyum merekah di balik bibir. Malu-
Malu

Lalu detik berikutnya kita memunggungi satu
Sama lain
Berjauhan.

Hah,,
Aku (ingin) tidak percaya

Tak bisakah takdir berdamai dengan mimpi kita
Mengarang alur nasib yang sama
Menciptakan cerita serupa putri salju,
Cinderella (bagian sedihnya kita coret saja)
Mari kita buat ending yang…

Happily ever after!
Bahagia selamanya!

Monday 13 February 2012

menjadi bintang




Televisi, sadar atau tidak, telah menyatu dengan kehidupan kita sehari-hari. Lengkap dengan kehidupan para bintang yang gencar dipertontonkan. Entah karena kebutuhan akan keinginantahuan penonton, atau niat baik pengusaha infotainment untuk memenuhi pasar. Jangan-jangan malah karena penonton yang tidak punya pilihan selain menonton apa yang ada.
Menjadi bintang, tampil di layar kaca, dan terkenal seperti para bintang sudah menjadi cita-cita. Sejak anak masih kecil sampai orang dewasa. Pencarian bakat gaya baru lewat ajang talent show kemudian menjamur, peserta membludak. Rupanya sangat banyak yang ingin terkenal. Beberapa memilih mengunggah lewat situs sepert Youtube sebagai batu loncatan. Udin sedunia contohnya, atau eks Briptu Norman.
Iklan-iklan saat ini pun banyak menggunakan selebriti (selebrity endorser). iklan sampo Pantene, misalnya, memakai Anggun C. Sasmi sebagai model, Atiqah Hasiholan untuk sabun LUX, dan Dain sastro untuk L’Oreal.
Dalam pengamatan penulis, ada hal yang berbeda dengan iklan susu untuk balita seperti Dancow, SGM, dan Bebelac. Dancow dan Bebelac memiliki pola yang hampir sama, sama-sama menggambarkan masa depan bintang cilik  yang cerah di atas panggung hiburan. Sedangkan SGM memilih memakai artis terkenal seperti Mira Lesmana dan Sarah Sehan, iklan dikembangkan dengan teknik menceritakan masa kecil artis biasa-biasa saja, hingga menjadi luar biasa setelah  ibu si artis memberinya susu SGM. Satu poin yang saya tangkap: para ibu sebaiknya membelikan susu tersebut untuk si buah hati, kelak anak anda juga akan menjadi bintang seperti mereka. 
Tanda-tanda dalam Iklan

Menggunakan model analisis tanda yang diperkenakan oleh Charles Sanders Pierce yaitu ikon, indeks, dan simbol, penulis menganalisis dua iklan serial Bebestar yaitu iklan coming soon dan t-shirt prom dari Bebelac:everyone is a star.

Ikon adalah penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya, indeks adalah penanda yang mengisyaratkan jejak petandanya, dan simbol adalah penanda yang lazim digunakan dalam konvensi masyarakat.



Iklan Bebestar T-Shirt Promo

Seorang lelaki bertubuh gempal naik ketas panggung yang masih sepi, merendahkan tiang mic yang tinggi untuk ukuran dewas menjada lebih pendek sehingga lebih pas untuk dipakai anak-anak. Setelah itu ia meninggalkan panggung. Dari tengah panggung, banner berwarna orange bertuliskan; Bebestar  dengan tagline everyone is a star turun perlahan-lahan dari  langit-langit panggung. Satu per satu anak naik menepati posisi drummer, vokalis, basis lalu gitaris, yang sepertinya kesusahan naik sehingga lelaki dewasa tadi kembali naik panggunng dari arah berlawanan lalu menaikkannya.



Iklan Coming Soon.

Para bintang turun dari mobil kuning; berstiker bebestar besar sehingga bisa dibaca dari jauh sekalipun. Bintang-bintang cilik tersebut lantas berjalan di atas karpet merah ke atas panggung. Terdengar suara penonton mengelu-elukan, tangan terulur hendak meraih sang bintang.

Bintang cilik perempuan dengan bandana berbentuk pita besar di atas kepalanya, lantas membalas sapaan para fans dengan balik memberikan cium jauh; jemari kedua tangan menyentuh bibir yang mencucu seperti ekspresi orang hendak mencium lalu tangan melebar, seperti menebar ciuman pada penonton.

Selain itu juga ada anak lelaki mengenakan jas dan bertopi lebar, berjalan dengan kedua tangan memeragakan simbol metal; menunjukkan jari ibu, telunjuk, dan kelingking, sementara jari tengah dan manis ditekuk.

Bocah lelaki lainnya memakai jacket hitam dipadi kaos putih dan topi hitam yang di balik ke belakang, bergaya santai ala rapper. Ia berjingkat-jingkat mengayun tangan ke atas menyapa penggemar.

Sementara itu, anak lelaki berambut keriting, baju ungu dan syal bulu ungu muda menghampiri penonton dan memberikan tanda tangan. Sedangkan bocah perempuan keriting, bergaun putih, sedang melayani wartawati yang mewawancarainya sambil berjongkok.

Kedua iklan ini merepresentasikan makna berbeda, tapi masih dalam payung yang sama.  Tentang menjadi bintang. Iklan t-shirt promo menunjukkan bahwa, mejadi bintang televisi bukan dominasi orang dewasa saja. ini ditunjukkan dengan simbol tiang mik yang dipendekkan. Anak-anak juga bisa menjadi bintang dengan sedikit dorongan dan bantuan orang dewasa. Terlihat dari orang dewasa yang memperbaiki mik serta membantu seorang personil band untuk naik ke atas panggung.

Tata panggung yang minimalis, tidak banyak hiasan dan berlatar belakang gelap, menjadikan para model dan peralatan band mereka sebagai titik fokus, didukung dengan pencahayaan yang tepat menyorot keempat model tersebut.

Iklan ini mempertontonkan bagaimana seorang bintang menikmati pekerjaanya di atas panggung. Melompat-lompat kegirangan saat bernyanyi, bahagia dengan pekerjaan yang sedang dilakoni.

Sedangkan iklan coming soon, lebih memperlihatkan kebahagian yang datang dari hasil kerja keras sebagai bintang yaitu pemujaan fans. Disorot kamera, berjalan di atas panggung yang terang benderang karena penataan cahaya yang wah dan glamour. Menikmati kedekatan dengan fans yang meminta tandatangan, atau diliput media massa. Wajah para bintang cilik yang tersenyum lebar, menandakan kepuasan akan jerih payah.

Masih di iklan coming soon, ikon panggung merupakan simbol penjelas identitas bintang dan penggemar. Ada batas tegas. Yang di atas panggung kedudukannya lebih tinggi, memiliki kuasa panggung pertujukkan, sedangkan mereka yang dibawah menonton adalah orang-orang bawah yang dengan eluan mereka menjadikan bintang semakin bintang.




TV, Iklan, dan Bintang

Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi khusus dalam strategi pemasaran, iklan tidak sekedar memberikan informasi produk tapi juga harus mampu membujuk khalayak umum untuk membeli. Namun, iklan saat ini tidak sekedar menjual produk, iklan dikemas begitu rupa sehingga lebih menonjolkan pencitraan.

Bisa dikatakan iklan sama sekali tidak bebas nilai; apa hubungannya menjadi bintang dengan minum susu? Bukankah susu merupakan minuman pendamping untuk penyempurnaan gizi? Apa dengan minum susu lantas anak-anak tersebut langsung menjadi bintang? Lantas kenapa menjadi bintang yang diangkat Bebelac sebagai tema? Selanjutnya penulis memadukan analisis kode-kode televisi Jhon Fiske untuk memahami iklan Bebestar. Teori Fiske memasukkan kode-kode sosial dalam tiga level; reality, representasi, dan ideologi.

Level reality dapat dilihat dari anak-anak dengan kostum ala bintang, ada panggung, pencahayaan, serta penggemar.

Level representasi ditandai dengan pencahayaan yang terang benderang di iklan coming soon, suara penggemar yang mengelu-elukan, serta penataan panggung yang mempertegas identitas kebintangan.

Sementara ideologi, iklan Bebelac sedang menjual ideologi kelas selebriti, bintang. Kehidupan mapan, ketenaran, selebriti digadang-gadang sebagai cita-cita yang harus ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Perlu diingat, peserta bebestar berumur 3-6 tahun.

Sekilas, penononton seperti terbius dengan visualisasi iklan yang sama sekali tidak menunjukkan kegiatan anak kecil mengonsumsi susu, tapi pencitraan iklan sebenarnya erat kaitannya dengan meminum produk susu yang diiklankan. Jelas sekali, bintang ciliki mengonsumsi Bebelac. Jika ingin terkenal seperti para bintang cilik, ikutilah ajang bebestar dan minumlah susu Bebelac.

Bebestar 2011 merupakan ajang pencarian bakat anak usia 3-6 tahun meliputi kemampuan bernyanyi, menari, bermain musik, atau gabungan ketiganya. Audisi dilakukan di 25 kota besar di Indonesia, seperti, Manado, Makassar, Lampung, dan lainnya, para semifinalis akan diberi kesempatan untuk kembali tampil di tigabelas kota, sedangkan final acara ini sendiri akan diselenggarakan di Jakarta pada akhir tahun 2011 kelak.

Bebestar bukan ajang pencarian bakat pertama yang ada di Indonesia, sebelumnya pernah ada Akademi Fantasi Indonesia (AFI), ajang pencarian bakat bernyanyi yang di tayangkan di Indosiar. Indonesian Idol, di RCTI, dan Kontes Dangdut Indonesia (AFI) di TPI keduanya jjuga merupakana ajang bakat bernyanyi. Sementara program Indonesia Mencari Bakat (IMB) yang disiarkan di Tans TV pada 2010 lalu merupakan talent show pertama yang mewadahi lebih dari sekedar bakat bernyanyi. Di sini peserta bisa memamerkan bakat berupa bernyanyi, bermusik, menari, atau gabungan ketiganya. Berbeda dari  ketiga ajang sebelumnya membatasi umur peserta, hanya untuk remaja dan dewasa awal, IMB lebih fleksibel, anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia pun boleh bertarung disini. Mau berkelompok atau individu pun sah-sah saja.

Ada beragam bakat yang dimiliki manusia, namun dari sekian pencarian bakat di atas, semuanya menginginkan bakat yang dapat dipertontonkan serta dinikmati semua kalangan. Bernyanyi, menari, dan bermain musik. Bakat yang bisa menghibur orang lain. talenta menjual lewat layar televisi.

Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa berbasis elektronik menjalankan fungsi komunikasi berupa menginformasikan, mendidik, menghibur, serta memengaruhi. Televisi juga mengusung tujuan komunikasi yaitu mengubah sikap, opini, perilaku, dan masyarakat (El Karimah dan Uud, 2010:34)

Berdasarkan survei Komisi Penyiaran Indonesia, tayangan televis 70% menjalankan tugas menghibur dibanding mendidik dan menginformasi masyarakat (http://www.kpi.go.id). Setiap hari masyarkat disuguhi tayangan seperti sinetron, film, italk show, berita infotainment, realityshow, kuis, komedi, dan tak ketinggalan iklan.

Konsekuensi logis dari jumlah tayangan hiburan yang beragam adalah melibatkan artis/penyanyi/selebritis yang kemudian dalam tulisan ini dipahami sebaga bintang (hiburan). Bintang-bintang ini hadir setiap saat di layar kaca lewat karakter yang diperankan dalam film atau sinetron, menjual kisah hidup di infotainment yang jam tayangnya nyaris seperti orang minum obat, tiga kali sehari; pagi, siang, dan sore. Para bintang saat ini juga marak terkenal sebagai bintang iklan (endorser). Akhirnya, para bintang tidak hanya sekedar pekerja hiburan, tapi juga menjadi public figure bagi masyarakat.

Danesi (2010) berpendapat penokohan selebriti yang diciptakan televisi merupakan efek mitologisasi. Selebriti, merupakan mitos, tapi kehidupan mereka begitu dekat dengan penonton. Begitu nyata melampaui kenyataan.

Bagaimana tidak, kehidupan bintang disorot sedemikian rupa, sejak bangun tidur,berangkat syuting, hingga kembali ke rumah. Cerita asmara, rumah tangga, hobi, gaya hidup, serta seabrek aktivitas di luar keartisan menjadi layak untuk diberitakan. Ruang privat sudah tak lagi tabu dipertontonkan kepada khalayak.

Hal yang sangat mengahawatirkan adalah pencitraan bintang sukses ditandai dengan kepemilikan barang mewah yang berlimpah. Mobil, rumah atau minimal apartmen, baju bermerk, aksesoris mahal, hobi mengoleksi barang mewah seperti mobil, motor, parfum, karakter animasi, dan masih banyak lagi. Anugrah menjadi bintang lebih menjadi lebih menarik, mungkin juga diam-diam menjadi hal yang dicita-citakan ketimbang usaha sang bintang mencapai popularitas.

Masyarakat yang menonton tayangan-tayangan tersebut mungkin akan menerima semua informasi yang diterimanya sebagai sebuah pengetahuan tentang kehidupan bintang; hidup bergelimang kemewahan, kemudahan, dupuja fans. Masayrakat gagap literacy televisi mungkin tidak tahu jika tayangan yang ditontonnya hanyalah apa yang disebut Baudrilard sebagai simulacrum. Penampilan selebriti depan layar kaca mengandung pencitraan, bagaiman ia ingin atau dituntut menjadi figur tertentu.

Contoh nyata terligat saat bulan ramadahan, semua artis berlomba tampil lewat publisitas amal merek. Menyantuni anak yatim, buka bersama anak jalanan, mengikuti pengajian. Yang paling tren sepertinya berbusana “islami”. Perempuan mengenakan kerudung atau pakaian tertutup. Entah itu sebagai presenter, menyanyi, atau keseharian di rumah. Sinetron juga tak kalah latah mengikuti euforia ramadaha dengan menyajikan sinetro-sinetron yang mereka sebut religi. Setalah lebaran, semua atribut kesaalehan ditanggalkan dan kembali lagi seperti semula.

 Mengikuti gaya  atau tren selebriti menjadi sebuah pertanyaan besar, sebab yang ditiru bukanlah yang “asli”. Lalu disebut apa peniruan yang dilakukan para penoton atau fans?

Inilah yang sedang ditanamkan kepada anak-anak lewat propoganda “Bebelac: everyone is a star.” Kita sedang dibombardir televisi dengan beragam informasi dalam simpul makna dan tanda yang berkelindan yang terus bergerak seolah tak memberi kita ruang untuk memprosesnya dalam otak, seolah tak ada pilihan. Tapi tentu saja sebagai penonton, kita juga punya pilihan. Dan pilihannya, menurut Baudrillard (2007: 283) “penolakan pada makna adalah satu-satunya resistensi yang mungkin di masyarakat kita yang menderita karena melimpah ruahnya informasi.”

Khalayak harus melek media (media literacy), sebab media, menurut Safrina Noorman (Prabasmoro, 2003: 22) merupakan konstruksi atas ideologi dan kepentingan tertentu, dan yang jelas media dibuat untuk kepentingan berupa memperoleh keuntungan atau kekuasaan tertentu. Bebelac lewat iklannya sedang mempryokesikan masa depan anak, mengarahkannya pada ideologi kehidupan glamor kebintangan.

Jadi, pikirkan kembali untuk menyalakan TV anda!




Monday 6 February 2012

Jilbab Dalam Cermin


Berdiri mematut diri depan cermin. Menatap penuh selidik pada sosok yang menyerupaiku di seberang sana. Hei! Helo? Siapakah kau? Lihat, dari ujung kaki sampai naik ke ujung kepala kita benar-benar sama! Apakah kita kembar?

Hmm… oke. Aku harus memastikan siapa kau sebenarnya. Ada beberapa pertanyaan yang akan kuajukan. Tapi santai saja, ini bukan interogasi di kantor polisi. Silakan jujur sejujur-jujurnya jujur. Tak perlu takut salah. Karena tidak akan mengurangi nilai. Ah, ya. Tidak ada penilaian di sini.

Nah. Apa kau sudah siap? Apa? Oh, tentu. Kau pasti kaget, butuh waktu untuk mencerna sebentar. Dan butuh jeda untuk bernapas. Maaf, aku agak tergesa kalau sedang bicara.

Hmm, bagaimana? Kau siap? Oke. Kita mulai.

(+)catatan= a adalah aku
  b adalah beta



a: Aku akan mulai dari atas. Hm, jangan tersinggung. Apa itu yang menutupi kepalamu?
b: Oh. Tak apa. Ini kerudung.
a: Kau botak?
b: *menggeleng*
a: Gak punya kuping?
b: *menggeleng lagi*
a: Terus?
b: Sekarang sedang tren di kalangan perempuan di negriku.
a: Seperti itu rupanya. Haha. Lantas, apa kau memakainya karena mengikuti tren?
b: Hehe. Tidak seperti itu. Beta sudah memakainya sejak umur 10 tahun. Kelas 1 SMP.
a: Wow. Muda sekali. Kau nyaman? Aku saja yang melihatnya, merasa ribet dan..
b: Gerah?
a: Ya. Kau tahu… jadi, apa alasanmu menutupi kepala, rambutmu dengan sehelai kain seperti itu?
b: Orangtua memintaku memakainya. Sekolahku mewajibkannya. Semua perempuan dalam keluargaku mulai memakai kerudung saat beranjak remaja. 
a: Kenapa?
b: Agamaku, islam, memerintahkan perempuan islam agar menutup kepalanya, rambutnya, sampai ke dada. Inilah identitas perempuan muslim. Agar mereka merasa aman. Terlindungi dari pandangan -bahkan perbuatan yang tak sepantasnya.
a: Kau merasa aman dan nyaman?
b: Biasa saja. Tapi setidaknya beta bisa menyembunyikan rambut yang kusut. Hehe. Beta malas menyisir.
a: Sekarang kau sudah tak bersekolah di sana lagi. Orang tua juga tidak melihatmu. Kau di kota ini. Dan mereka di kota lain. Lalu?
b: Sampai SMA pun beta tetap memakainya, sekolahku lagi-lagi mewajibkan para siswi berjilbab. Kuliah juga begitu. Beta rasa, lama-lama beta terbiasa dengan dengan ini *membelai jilbab*
a: I see. Terbiasa.
b: Guruku bilang jilbab ini semacam remote tubuh. Yang jadi pengontrol.
a: Maksudnya?
b: Pengontrol diriku. Biar tidak berbuat di luar jalur. Gak nglakuin yang tidak-tidak. Jadi, kalo aku mau berbuat jahat, kayak mencuri, nyopet, berbohong, cabul, aku mawas diri. Masa orang jilbaban berbuat seperti itu? Apa pantas?
a: Aha.
b: Maaf, tadi kamu bilang boleh jujur, kan?
a: Ah, kau mau mengatakan sesuatu? Bicaralah. Aku mendengarkan.
b: Hufft.. Sebenarnya. Beta hanya terbiasa. Terbiasa. Beta tidak tahu apa beta berani melepas jilbab ini. Tapi untuk apa beta melepasnya. Namun, apa gunanya juga beta memakai ini. Beta…
a: Kau mau minum?
b: Tidak. Trims. Sebenarnya beta pikir, beta memakai jilbab ini karena beta ingin patuh pada orangtuaku.
a: anak manis…
b: Ibuku sangat keras masalah menutup aurat. Beta mencintainya. Dan beta akan melakukan apa yang dimintanya. Itu sepertinya alasan pertama.
a: Jadi ada yang lain kedua, ketiga dan alasan lainnya dong?
b: Beta sudah biasa dan tidak siap menerima tanggapan orang-orang melihatku berbeda. Bayangkan, sejak usia 10 tahun. Sekarang umurku 20 tahun. Separoh masa hidupku di dunia saat ini, beta terus memakai kain ini.
a: Bagaimana dengan perintah agamamu tadi?
b: Banyak orang yang aman dan nyaman tanpa kain ini. Itu sudah cukup jadi bukti untukku mempertanyakan perintah itu. Mempertanyakan diriku sendiri.
a: …
b: Menjadi seorang perempuan islam, haruskah memakai ini? Apakah identitas itu ditandai dengan hanya selembar kain ini? Identitas sama dengan jilbab. Jilbab sama dengan identitas.
a: Kain seperti itu, banyak di jual di pasar, toko, mall. Siapa saja bisa beli dan memilikinya. Memakainya
b: Hihi. Kau benar. Yang bukan islam juga bisa. Beta sering melihatnya di sinetron-sinetron. J-Lo, juga memakainya saat syuting videoklip I'm into You.
Beta merasa kehilangan arah, pegangan. Terombang-ambing dalam ketidakyakinanku. Beta belum menemukan jawaban atas soalku; kenapa perempuan islam berjilbab? Haruskah? Beta sedang merasa sebagai robot. Ada perintah, dan beta melaksanakan. Itu saja. Beta sedang tidak sungguh-sungguh dengan diriku.
a: *nyimak*
b: …
a: Ada apa?
b: Beta tak tahu harus berkata apa lagi. Beta akan terus mencari. Beta akan terus bertanya. Sampai Beta yakin. Beta bosan dalam ketidaktahuanku. Beta bosan melulu patuh.
a: Yup. Harus.
b: Umm. Trims.
a: Untuk apa?
b: Tidak menginterogasiku.
a: ...?
b: Kamu sudah membiarkan beta bercerita banyak. Mengeluarkan semua yang bercokol di kepala.
a: Ah, bukan apa-apa. Aku rasa sudah cukup. Kapan-kapan, aku mau tanya-tanya soal itu *menunjuk baju.*
b: *meraba-raba baju kaos panjang sepantat. Mencermati.* Apa ada noda?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...